Posts Tagged ‘renungan’

Hey, Ibukota!

Posted: October 20, 2016 in puisi
Tags: , , , , ,

Hey, ibukota!
Beberapa saat ini engkau terasa tak menggairahkan
Denyut kotamu ada, tapi tak mendebarkan
Sejenak kau kutinggal, kau tampak bermuram durja

Hey, ibukota!
Ada apa gerangan yang mengusikmu
Sudah berkali-kali aku mengunjungimu
Sepeninggalanku, selalu ada kesan menggetarkan

Hey, ibukota!
Sesungguhnya aku membawa banyak cerita
Tentang kisahku meninggalkanmu sementara
Lakon kali ini membuat hidupku terasa damai

Hey, ibukota!
Tidakkah kau mau mendengarkanku sejenak
Mereka itu sudah, dan merasa tertarik
Ayolah sendengkan telingamu

Hey, ibukota!
Ada cerita lain kah yang menggodamu
Atau sudah merasa sepat dengan tuturku
Hanya dirimu yang bisa mengungkapkannya

Hey, ibukota!
Sedang sibukkah dengan urusan dirimu
Mereka semua ternyata sedang memperbincangkanmu
Banyak yang mendekat, menjadikanmu idola

Hey, ibukota!
Tersenyumlah kembali bersama nurani
Hikayat ini masih panjang mengisi bumi
Jangan kau hindari sesuatu yang ditakdirkan

Hey, ibukota!
Hey, ibukota!
Hey, ibukota!

Bandung, 20 Oktober 2016, 00:37
Niko Saripson P. Simamora

Kuhidup BagiMU?

Posted: August 7, 2013 in otak atik otak
Tags: , , ,

Sejak pagi hujan mengguyur kota ini. Suasana yang sangat nyaman untuk menyentuh kasur dan larut dalam tidur. Sementara teman-teman masih menikmati saat-saat beristirahat mereka, seperti biasa sehabis sahur, apalagi ini yang terakhir untuk ramadhan tahun ini. Kebetulan saya ikut sahur bersama kali ini, terbangun dan tidak bisa tidur lagi.

Tidak ada semangat mengerjakan apapun. Pekerjaan menumpuk, tapi tak ada niat mengerjakannya. Acara televisi pun tak ada yang begitu menarik. Namun, setelah gonta-ganti saluran, saya berhenti di tayangan langsung sepakbola antara Juventus melawan Inter Milan. Kebetulan saya penggemar klub Juventus, terutama Del Piero kala itu. Jadilah saya menonton bola tapi dengan gaya ogah-ogahan hingga ketiduran di sofa.

Kemudian saya terbangun dan menonton lagi. Lalu beranjak menuju meja kerja untuk menatap komputer dan berniat mengerjakan sesuatu. Banyak rencana yang ingin saya kerjakan, namun semua hanya berputar-putar di kepala saja. Belum banyak yang benar-benar saya kerjakan atau baru hanya mulai mengerjakan tanpa tindak lanjut atau juga memulai saja belum. Oh tidak! Betapa acaknya momen ini. Saya hanya bisa berpikir tanpa berbuat hingga saya berpikir lagi supaya saya tidak berpikir seperti itu demi mencegah stress. Benar-benar acak.

Saya mencoba memutar lagu dan terpasang di sana lagu yang cukup menarik. Potongan liriknya seperti ini, “..kalau kuhidup, kuhidup bagiMu, hatiku tetap, tetap menyembahMu,dst…”. Betapa indahnya lagu tersebut mengalun di telinga saya yang sedang berpikir acak ini. Saat itu, diri saya dibawa kepada perenungan terhadap kata-kata yang terdapat pada lagu tersebut. Ya, saya cukup lama terdiam memasang telinga benar-benar kepada lagu tersebut dan makna yang terkandung di dalamnya.

Kuhidup bagiMU? Ya, sebuah pertanyaan besar bagi saya saat ini. Setelah setahun menyandang gelar sarjana lalu masuk dunia profesional, adakah kuhidup bagiMu? Setelah melewati masa-masa, indah dalam persekutuan dan pergaulan, adakah hatiku tetap menyembahMu? Hujan ini menjadi pengguyur jiwa yang sedang kering, membasahi ruang-ruang yang mulai tandus, dan tanda bahwa Dia hadir setiap saat.

“Ya Allahku, jadilah kehendakMu dalam hidupku, ajarlah ku mengerti jalan-jalanMu sehingga aku bisa hidup bagiMu. Amin”

Balikpapan, 7 Agustus 2013, 10.47 WIB

Niko Saripson Pandapotan Simamora

-Cerita Tak Lengkap-

Posted: July 2, 2011 in otak atik otak
Tags: ,

……

Siang itu, seorang anak laki-laki dengan usia belasan tahun, kurang lebih seumuran anak SMP tiba-tiba menangis sambil berteriak-teriak dengan bahasa setempat. Kapten kapal alias tekong (sebutan oleh penduduk setempat) yang biasa menemaniku mengartikannya, “..Dia bukan bapakku..” diikuti sebuah pertanyaan retoris “kalau dia bilang begitu, dari mana dia datang?”. Pernyataan itu  memuat simpul di bibir.

Sementara si Bapak pergi ditemani istrinya dengan sebuah kapal berukuran sedang bermesin cepat dua unit dengan merk Yamaha yang semakin melaju seiring tarikan gas yang dipacu mengejar waktu untuk mengikuti kegiatan di kecamatan, si anak kembali ke rumah sambil terus menangis dan teriak sesuka hatinya, bahkan meninju-ninju dinding kamarnya yang terbuat dari papan hingga figura foto yang terpajang di situ jatuh dan pecah. Hal itu memicu emosi si kakak sehingga secara emosional membentak,” Sekali lagi saya bilang, diam!” dan si adik perempuan mengumpulkan pecahan kaca figura.

Tekong bergumam, “Sudah biarkan saja, nanti juga capek sendiri”. Dan memang benar, tidak berapa lama, tangisan berhenti dan suasana berubah seketika ketika si anak keluar dari kamar, menyalakan mesin di belakang rumah yang biasa digunakan sebagai sumber listrik di rumah itu. Dia lalu menyalakan televisi, memutar lagu India dengan sebuah pemutar DVD yang seketika mengingatkan kepada seorang sahabat yang juga tahu lagu-lagu tersebut. Suasana berubah menjadi riuh ramai dan mengundang anak-anak muda dari banyak kapal yang bersandar di sekitar dermaga untuk turut menyaksikan hiburan di sela-sela badai seharian yang menghambat kegiatan menangkap ikan.

Hal itu melatarbelakangi kegiatan dua orang lelaki berbeda usia, layaknya seorang anak dan bapak, yang saat itu sedang sibuk menjaga seperangkat alat penentuan posisi berbasis satelit di dekat rumah Pak Keplor, sebutan untuk Kepala Dusun di daerah itu, yang merupakan salah satu pulau kecil dari banyaknya gugusan pulau di sekitar sebuah pulau yang disebut sebagai Pulau Mansalar atau oleh penduduk setempat disebut sebagai Pulau Mursala.”

……

Cerita yang kurang lengkap di atas akan saya potong lagi sehingga semakin tidak lengkap. Saya mengajak orang-orang yang mau mampir ataupun saya paksa mampir di sini untuk memfokuskan kepada bagian di mana si anak menangis sambil berteriak ketika ditinggalkan ayah dan ibunya. Akan ada banyak interpretasi terhadap sepotong kejadian ini.

Berdasarkan hasil olah otak, saya mengimajinasikan akan dekatnya hubungan si anak terhadap orangtuanya sehingga ketika ia ditinggalkan, ia belum terbiasa dan timbullah gejolak di dalam jiwanya. Dia ingin selalu bersama orangtuanya. Mari berkontemplasi sejenak! Bayangkan bila Bapa meninggalkan kita, adakah kita menangis dan berteriak seperti anak laki-laki itu, atau malah kejadiannya terbalik, kita yang sering meninggalkan Bapa sehingga Bapa menangis bahkan berteriak, “Hai, AnakKu, berbaliklah kepadaKu! Rasakan KasihKu dan Lakukan KehendakKu”.

Lalu, bayangkan sebuah keadaan ketika seorang Anak Allah berteriak ,“Eli, Eli, lama sabakhtani!”. Betapa gejolak itu sangat menyakitkan, namun Bapa tahu yang terbaik untuk anakNya. Bapa tahu segalanya! Sekali lagi, Bapa tahu segalanya! Bahkan sehelai rambut yang jatuh Ia peduli, lalu apa? Sudah selayaknya kita menyerahkan segala hidup kita kepadaNya.

Tapian Nauli, 2 Juli 2011, 21.45

Niko Saripson P Simamora