Archive for June, 2011

Judul di atas kemungkinan mengingatkan sebagian orang terutama orang Batak akan lagu Batak yang berjudul “Anakhu na burju”. Ya, itu adalah faktor kesengajaan dari saya, walaupun terdengar ganjil, karena sejauh pengamatan saya, masih minim lagu-lagu(khususnya lagu Batak) yang menceritakan ungkapan kasih, penghargaan atau apapun yang berhubungan dengan keberadaan seorang Bapak. Yang sering terdengar adalah ibu (inang), anak perempuan (boru), ataupun anak laki-laki (kemungkinan masih minim juga). Kalau pengamatan saya salah, maafkan saya.

Bapakku adalah seorang birokrat yang cukup punya kedudukan di sebuah kabupaten, orang-orang bilang pejabat. Wow, hebat ya. Tapi bagiku, bapak adalah seorang petani. Bapak yang dikenal orang sebagai pejabat itu, ternyata banyak menghabiskan waktunya dengan bertani. Inilah bapakku yang kukenal. Sehabis pulang dari kantor, yang sering ia lakukan adalah berkunjung ke ladang. Hatinya ada di ladang, yang kutahu sebagai warisan dari Oppungku. Betapa ia menghargai warisan dari bapaknya.

Bapakku yang lagi-lagi dianggap orang sebagai pejabat itu, harus kuakui sebagai orang yang sederhana. Mengapa aku anggap seperti itu? Karena aku melihat, orang-orang yang sama posisinya atau bahkan setingkat di bawahnya, bisa hidup dengan standar yang jauh di atas apa yang ditunjukkan oleh bapakku. Dan itu sangat mempengaruhi kami di rumah. Akupun bingunglah. Kok bisa,ya? Itulah bapakku. Hidup sederhana namun tetap berwibawa. Patut disyukuri bila saat ini, Bapak telah memasuki masa purna tugas sebagai seorang abdi negara.

Bapakku itu juga adalah orang yang bersahabat. Temannya bukan sebatas pejabat, pengusaha atau petinggi-petinggi. Ia punya banyak kolega, dari lapisan sosial yang tinggi hingga kaum proletar. Bahkan kami pernah heran, ketika di dekat ladang dimana ia sering menghabiskan waktu luangnya, ia punya teman yang menurut penduduk sekitar adalah seorang yang gila. Kamipun pernah berkomentar, “ Udah gila rupanya bapak ini”. Jawaban singkat yang sering terlontar, “Toe ma”(sudah lah). Lagi-lagi aku dan saudara-saudaraku harus mengernyitkan dahi. Bingung. Itulah bapakku, seorang yang egaliter.

Waktu aku masih kecil, tidak banyak kenangan yang kuingat. Tapi aku sungguh merasakan kebersamaan dengan bapak. Di saat berjalan bersama, ia pasti memegang tanganku dan aku bisa merasakan kenyamanan di saat itu. Ia sering menyemangatiku dengan pujian-pujian dengan harapan agar aku kelak menjadi orang yang cerdas. Aku sangat mengingat saat-saat ayahku menepuk-nepuk pundakku dengan lembut atau menarik-narik hidungku sambil berucap,”Anakhu do on, si pistar do anakhu on haduan”.(Ini anakku, anakku yang pintar nantinya). Hal itu seakan-akan merasuk ke pikiranku dan memotivasiku, walaupun dalam kenyataannya aku bukan orang yang pintar-pintar amat. Setidaknya, aku tidak pernah tinggal kelas dan masih bisa mengikuti pendidikanku hingga saat ini.

Akupun sangat kagum akan integritasnya. Sejauh ini, aku melihat bahwa tanggung jawabnya sebagai birokrat tidak dilakukan secara sembarangan. Aku percaya bapak sebagai orang bersih yang bisa dijadikan teladan bagi birokrat-birokrat lainnya. Aku melihat bapak mengajarkan aku akan integritas ini dari hal-hal yang kecil. Pernah suatu kali, ketika aku belum berapa lama sudah mampu menyetir mobil, aku diberi kepercayaan oleh bapak untuk menyetir ke daerah lain yang lalulintasnya lebih padat. Aku tahu sepanjang perjalanan bapak tidak tidur, wajar saja, masih khawatir akan kemampuanku. Namun selama perjalanan banyak hal yang diajarkan kepadaku, salah satu yang paling kuingat adalah ketika berada di tikungan bapak berujar,”Kalau di tikungan, jangan pernah curi jalan”. Setelah lama aku baru bisa mengerti akan pernyataan bapakku ini. Ini mengajarkan bahwa integritas berbicara dalam setiap keadaan. Nilai ini sangat berkesan padaku. Mengapa tidak? Bahkan mencuri jalanpun jangan, apalagi mencuri hak-hak orang lain. Mungkin hal inilah yang membuat bapak pernah berlaku tegas kepadaku. Ketika aku masih duduk di sekolah dasar, aku hidup di lingkungan pedagang antarkota. Jadi teman-temanku adalah anak pedagang yang sering ditinggalkan orangtuanya karena pergi berdagang. Mereka biasanya diberi bekal uang yang cukup besar untuk anak sekolahan pada masa itu. Begitu juga dengan aku, sering ditinggal orangtuaku yang harus tugas di luar kota. Bedanya, aku tidak diberi bekal yang cukup besar, atau aku tidak tahu pasti jatahku karena dititip ke kakakku. Melihat keadaan itu, sebagai anak kecil yang polos, timbullah rasa cemburu. Jadi, ketika orangtua pulang dari tugas, aku pernah berusaha untuk mengambil uangnya tanpa permisi, kata lainnya mencuri. Dan sialnya, tertangkap basah oleh bapakku. Dengan sedikit kesal dan kecewa, bapakku menghajarku dengan alat pemukul kasur. Ini dapat dianggap sebagai ungkapan rasa kecewa sekaligus kasih sayang yang dibumbui dengan harapan agar aku tidak menjadi anak yang bermental pencuri. Luar biasa, bukan? Semoga ini menjadi bekalku nantinya untuk tidak akan pernah kompromi dengan segala bentuk korupsi. Doakan, ya pak!!

Masih banyak hal yang menjadi teladan dalam semasa kecilku. Contoh lain adalah merokok. Semasa sekolah dasar, aku sudah akrab dengan merokok karena terpengaruh oleh teman-temanku. Aku melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Namun pernah ketahuan oleh kakakku, sehingga aku diinterogasi dan dihajar kali ini oleh oppungku dari mama. Kata-kata yang terngiang adalah,”Bapakmu aja nggak merokok, kenapa kau merokok?” Kedahsyatan kata-kata ini ada pada orang ketiga yang disebutkan. Berbeda dengan bapak yang melarang anaknya merokok, sementara dia tetap merokok. Begitulah keadaannya, teladan tidak cukup hanya kata-kata, perlu tindakan nyata.

Bapakku itu juga orang yang tegar. Aku melihat ketika ia harus melepaskan kepergian adiknya di masa-masa menjelang tahun baru, masa di mana kebanyakan orang akan bersukacita dalam suasana yang berbahagia. Namun, di saat itu kami harus berkumpul di rumah bapaudaku itu untuk melepaskan kepergiannya. Masalah dibalik kepergian bapaudaku ini pun bernuansa kurang baik dan sangat membuat terpukul keluarga. Kehadiran bapak sebagai panutan harus tetap tegar dan bijak, sehingga semua keluarga bisa tenang. Ketegaran bapak juga terlihat ketika ia harus melepaskan putri sulungnya untuk mengarungi hidup baru bersama seorang laki-laki yang menjadi pilihannya. Lagi-lagi, bapak harus terlihat tegar, walaupun kami tidak tahu pasti bagaimana perasaannya. Mungkin saja sebenarnya, ia sangat sedih dan ingin menangis ketika harus merelakan seorang putri yang daripadanya-lah bapakku mendapat sebutan seorang bapak, dan belajar bertindak sebagai seorang bapak. Tegar, itulah kiatnya, sambil berharap bahwa laki-laki yang dipilih oleh putrinya itu adalah orang yang paling tepat menggantikan posisi bapak di kehidupan baru mereka.

Bapakhu naburju, mansai godang do nian naso boi tardok ahu. Di siala sude denggan ni pambaenanmu di hami anakhonmu, holan tangiang ma na boi tarpatupa hami anggiat ma di tingki-tingki na ro na sai tong dope dilean Debata tu hita boi hita manghatindanghon ai sudena ta hilala on holan alani asi dohot holong ni Jahowa marhite-hite anakNa, Jesus, dohot Tondi Parbadia.
Horas!!!

Selamat Ulang Tahun,Pa!! Panjang umur dan sehat-sehat terutama dalam menjalani masa purna tugas!!!