Archive for December, 2012

Cuaca hari ini tampak cerah melingkupi Sidikalang, ibukota Kabupaten Dairi, berjarak sekitar 152 km ke arah barat daya dari ibukota provinsi, Medan. Waktu tempuh bisa mencapai 4 jam perjalanan menggunakan kendaraan umum maupun pribadi dengan kecepatan rata-rata 50 km/jam. Bila menuju ke sana, jangan lupa membawa bekal jaket, syal, maupun pakaian hangat karena akan disambut dengan udara segar yang dingin khas pegunungan. Pun hari ini, cuaca cerah tak pernah sepi ditemani udara segar nan dingin tersebut. Kaki umumnya takkan sanggup menapak di lantai keramik karena begitu dinginnya, kecuali telah terbiasa.

Pak Arko, seorang pegawai negeri sipil di daerah tersebut, masuk kantor dan mengerjakan tugas-tugas kantor dengan baik. Ia adalah salah satu abdi negara yang patut ditiru di kantor karena integritas dan dedikasinya yang tinggi, bukan hanya di kantor juga di lingkungan sekitar rumahnya, di gereja dan terutama di keluarganya. Hidupnya sederhana dan bersahaja. Bila dibandingkan dengan rekan-rekan di kantor, tak banyak yang menyangka bahwa Pak Arko adalah pejabat tinggi di daerah itu. Namun, Pak Arko tetap harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, khususnya untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga tingkat pendidikan yang paling tinggi.

Pesan singkat masuk ke telepon Pak Arko, dengan serta merta Pak Arko membuka dan membacanya.

Puhun (paman), jadi kita hari ini kan? Kami tunggu di kosan kami ya, Puhun. Terima kasih”

Pak Arko pun membaca sambil tersenyum dan kemudian membalas dengan singkat.

“Oke”

Suasana hati Pak Arko seketika menjadi cerah, senyumnya mengisyaratkan semangat ketika menerima pesan singkat tersebut apalagi waktu kala itu sudah mendekati jam istirahat kantor.

Ketika jam istirahat, Pak Arko langsung bergegas menuju rumah untuk terlebih dahulu makan masakan istrinya. Setelah itu, Pak Arko langsung bergegas menuju rumah kos untuk menjemput tiga orang anak muda yang masih sekolah di sekolah kejuruan teknik yang tidak jauh dari rumahnya. Ketiga anak muda tersebut sudah siap siaga menanti sejak tadi dan mereka langsung tersenyum ketika melihat mobil Pak Arko sudah mendekati mereka. Dengan bergegas, mereka pun langsung masuk ke mobil. Satu orang duduk di samping Pak Arko yang mengemudi dan dua orang lainnya duduk di belakang mereka.

Nggo mangan ke? (sudah makan kalian?)” tanya Pak Arko.

Nggo, Puhun! (sudah Paman)” jawab Kelleng yang berada di samping Pak Arko.

Situhu ngo? (beneran kan?)” tanya Pak Arko memastikan.

Ue Puhun! (Iya Paman)” seru ketiga pemuda secara spontan.

Oh, ingo. Berangkat mo kita ti! (Oh, begitu. Berangkatlah kita ya!)” ucap Pak Arko sambil mengemudikan mobilnya menuju ladang.

Pak Arko memang orang yang supel dan mudah bergaul. Ia bisa berkomunikasi dalam bahasa Batak Pakpak sementara Pak Arko sendiri berasal dari Batak Toba. Meskipun sama-sama etnis Batak, tetapi sub-etnis tersebut memiliki bahasa masing-masing yang sangat berbeda satu sama lain. Dengan memiliki kemampuan bahasa daerah tersebut, Pak Arko sangat mudah bergaul dengan penduduk daerah tersebut, khususnya anak-anak muda yang merantau dari desa ke Sidikalang untuk bersekolah. Anak-anak muda tersebut banyak yang bekerja sampingan setelah pulang sekolah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satunya dengan menjadi pemetik kopi di ladang Pak Arko.

Kopi adalah komoditas utama dari Sidikalang, bahkan Sidikalang dijuluki Kota Kopi. Daerah-daerah sekitar bahkan sangat mengenal Kopi Sidikalang yang dianggap memiliki kualitas kopi yang bagus dengan aroma yang menggoda bagi setiap pecinta kopi. Kebanyakan lahan di daerah ini ditanami kopi, khususnya kopi arabika dan sebagian kopi robusta. Salah satunya di ladang Pak Arko yang merupakan warisan dari orangtuanya. Ladang seluas kurang lebih dua hektar tersebut ditanami kopi sejak dua tahun yang lalu. Sebelumnya, ladang tersebut adalah sawah yang kemudian dikeringkan oleh Pak Arko karena produksi yang semakin menurun dan jaringan air yang mengering.

Letak ladang Pak Arko semakin strategis karena berada tepat di samping lokasi Taman Wisata Iman Dairi. Taman wisata iman itu merupakan sebuah taman wisata yang didirikan untuk mendukung dan mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama. Pada awal didirikan, taman wisata iman tersebut ditujukan untuk lima agama yang diakui di Indonesia yang dibagi dalam 4 (empat kawasan), yaitu Kawasan Budha, Kawasan Nasrani (Protestan dan Katolik), Kawasan Hindu, dan Kawasan Islam. Setiap kawasan dikembangkan menurut kebutuhan dan perkembangan agama masing-masing disertai fasilitas-fasilitas yang memungkinkan setiap pengunjung dapat melakukan ibadah menurut agama masing-masing, baik secara pribadi maupun secara komunal. Setiap kawasan pun terbuka untuk semua pengunjung dan dihubungkan satu sama lain sehingga pengunjung dapat mengunjungi semua kawasan di taman wisata tersebut.

Pak Arko sangat bersemangat bila mengunjungi ladang tersebut. Ia merasa seperti bangun pagi yang memberi semangat ketika menghirup udara segar di situ dan memandangi hijaunya tanam-tanaman yang diharapkan tumbuh subur dan memberikan hasil yang maksimal.

Dengan lama perjalanan sekitar lima belas menit, mereka pun tiba di ladang dan bergegas menuju pondok yang ada di ladang tersebut. Ketiga pemuda tersebut dengan sangat bersemangat lalu mengganti pakaian mereka dengan pakaian yang sudah sering mereka pakai untuk bekerja. Masing-masing mereka akan menggunakan caping, membawa satu ember dan karung goni.

Eta, eta krejo! (Ayo, ayo kerja!)” seru Pak Arko menyemangati.

Etaaa! (Ayooo!)” jawab ketiga pemuda dengan bersemangat.

Ketiganya dengan segera berpencar mencari tempat masing-masing untuk memetik kopi yang sudah memerah biji-bijinya. Sementara Pak Arko hanya tersenyum melihat mereka yang berlalu dari pandangannya. Pak Arko pun lalu bergegas kembali ke kantor karena waktu istirahatnya sudah hampir habis.

Pak Arko adalah salah satu dari banyak pegawai di kantornya yang juga turut menanam kopi untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup terutama pendidikan anak-anak dalam keluarga masing-masing. Hasil kopi tersebut memang memberikan keuntungan yang cukup besar kala panen. Tak salah, orang-orang di daerah tersebut menyebut kopi tersebut sebagai kopi sigarar utang (pembayar utang). Dan seringkali, obrolan-obrolan di kantin kantor dihiasi dengan saling berbagi tentang keadaan tanaman kopi di ladang masing-masing. Pak Arko pun terkadang turut serta untuk menjaga pertumbuhan kopi di ladangnya tetap bagus.

Sore hari tiba, Pak Arko pun bergegas meninggalkan kantor dan terlebih dahulu menuju rumah untuk berganti pakaian. Ia juga kerapkali mengajak istri dan anak-anaknya untuk turut serta apabila tidak memiliki kesibukan. Untuk hari itu, istrinya tidak bisa karena mengikuti latihan koor ibu-ibu di gereja, sementara kedua putranya sibuk dengan kursus masing-masing. Kedua puterinya saat ini sedang menuntut ilmu di Bandung. Pak Arko pun berangkat seorang diri.

Waktu pada saat itu sekitar dua puluh menit lewat dari pukul lima sore. Pak Arko tiba di ladangnya dan juga melakukan hal yang dilakukan ketiga pemuda tadi, berganti pakaian kerja, memakai caping dan membawa ember beserta karung goni. Ia terlebih dahulu memastikan apakah ketiga pemuda masih ada di ladang tersebut.

“Hoi…!” teriak Pak Arko.

“Hoooiiii…!” sahut ketiga pemuda tersebut hampir serentak.

Mereka pun melanjutkan pekerjaan masing-masing diikuti Pak Arko yang dalam sekejap langsung hanyut dalam kegiatan memetik biji-biji kopi merah dari pokoknya. Mereka terlihat begitu sibuk sehingga jarang sekali terjadi percakapan selama mereka memetik biji-biji kopi tersebut. Tak terasa, gelap mulai datang, ketika itu pukul enam sore, Pak Arko pun langsung mengajak untuk menghentikan aktivitasnya dan beranjak ke pondok.

Setelah bekerja, biasanya salah seorang dari pemuda akan memanaskan air dengan cerek kaleng di atas tungku yang disusun dari tiga buah batu dengan kayu bakar. Sejenak mereka akan berbincang-bincang terlebih dahulu sambil ada juga dari pemuda tersebut menyalakan rokok, sementara Pak Arko sendiri tidak merokok. Pak Arko akan terlebih dahulu menanyakan banyaknya biji kopi yang mereka kumpulkan. Biasanya mereka bisa mengumpulkan biji kopi masing-masing satu karung penuh dan hari itu pun mereka mengumpulkan seperti biasa. Pak Arko terkadang mengiming-imingi bayaran lebih bila mereka mampu mengumpulkan lebih, tetapi jarang sekali mereka memperolehnya. Ketiga pemuda itu tidak terlalu peduli dengan hal itu, yang penting bagi mereka bisa mendapat tambahan uang disertai rokok dan kopi gratis.

Pak Arko pun mengajak mereka untuk membereskan semua peralatan,  menggabungkan semua biji kopi yang di petik ke dalam sebuah karung yang lebih besar di dalam pondok. Setelah itu, mereka pun berganti pakaian dan bergegas untuk pulang. Pak Arko akan mengantarkan mereka terlebih dahulu ke tempat kos mereka, baru kemudian kembali ke rumahnya.

Di rumahnya, Pak Arko sudah ditunggu untuk makan malam bersama. Ibu Arko sudah mempersiapkan makanan untuk makan malam mereka. Pak Arko terkadang membawa buah tangan dari ladang berupa sayur-sayuran yang juga ditanam di sekitar pondok. Ada tomat-tomat kecil, cabe rawit, labu siam dan daun singkong. Setelah makan malam, Pak Arko akan menanyakan aktivitas kedua putranya, Arif dan Iman, kemudian mereka akan diperbolehkan belajar. Pak Arko sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya sehingga ia akan terus berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya, terutama untuk masalah pendidikan.

***

Keesokan harinya, seperti biasa, Pak Arko akan mengantarkan kedua puteranya ke sekolah terlebih dahulu sebelum mengikuti apel pagi di kantor. Pekerjaan di kantor dilakukan seperti biasa oleh Pak Arko, banyak dokumen-dokumen yang diletakkan di atas mejanya. Pak Arko selalu dengan teliti memeriksanya sebelum membubuhkan tanda tangan maupun sekedar paraf untuk didisposisikan lagi. Begitulah kesibukan Pak Arko di kantor sebelum waktu istirahat tiba.

Waktu istirahat sudah semakin dekat, Pak Arko sesekali memandang telepon selulernya, menanti datangnya pesan singkat dari pemuda pemetik kopi. Namun, tiba-tiba telepon di meja Pak Arko berdering. Pak Arko pun mengangkat.

“Halo, selamat siang, Pak Arko! Belum istirahat kan?” terdengar suara dari telepon tersebut.

Dengan sedikit mengernyitkan dahi, Pak Arko sepertinya sedang berpikir tentang suara dari telepon yang terdengar familiar.

“Selamat siang, Pak! Oh, belum Pak!” jawab Pak Arko setelah mengetahui bahwa suara dari telepon tersebut adalah Pak Heri, Sekretaris Daerah, pimpinan dari Pak Arko sendiri.

“Bisa datang ke ruangan saya, Pak! Ada hal yang ingin saya bicarakan!” ujar Pak Heri.

“Bi-bisa, Pak!” jawab Pak Arko sedikit terbata-bata dan ragu-ragu karena saat itu juga telepon selulernya berbunyi menandakan adanya pesan singkat yang masuk.

Dengan bergegas, Pak Arko menuju ruangan pimpinan tanpa sempat membalas pesan singkat yang masuk ke telepon selulernya. Ia pun menemui Pak Heri yang ditemani tiga orang bapak-bapak dan seorang ibu. Dua orang dari bapak-bapak tersebut terlihat berasal dari luar negeri bila diperhatikan perawakannya, sementara yang lain adalah warga pribumi.

“Pak Arko, perkenalkan Bapak-Bapak dan Ibu ini!” ucap Pak Heri ketika melihat Pak Arko datang seraya berdiri mengajak bersalaman dengan tamu-tamunya, ”Bapak/Ibu datang dari Medan untuk melakukan penelitian tentang kopi”, lanjut Pak Heri, “Pak Arko ini salah satu orang yang cukup menekuni tentang kopi,” tambah Pak Heri lagi.

Pak Arko pun menyalami mereka satu per satu sambil memperkenalkan nama masing-masing. Kedua bule itu berasal dari Jerman ditemani oleh dua orang dosen pertanian Universitas Sumatera Utara. Setelah itu mereka duduk bersama-sama dan melakukan perbincangan. Pak Arko sesekali memandangi telepon selulernya, tetapi belum sempat membalas pesan singkat tersebut karena menghormati suasana perbincangan di ruangan tersebut. Perbincangan mereka cukup panjang bahkan melewati waktu istirahat.

Awalnya Pak Arko tidak begitu tertarik dengan perbincangan tersebut hingga pada akhirnya Pak Heri memberikan perintah agar Pak Arko menjadi pemandu bagi tamu-tamu tersebut selama mereka melakukan kunjungan di Sidikalang. Pak Arko pun menjadi lebih fokus dan semakin memperhatikan arah pembicaraan tersebut. Para tamu pun memohon kesediaan untuk bisa diantarkan ke lokasi yang ditanami kopi. Tanpa berpikir panjang, Pak Arko berinisiatif untuk mengajak mereka ke ladangnya. Pak Arko pun terlebih dahulu memohon izin dari Pak Heri. Pak Heri pun terlihat menyetujui. Pak Arko dan para tamu tersebut pun meninggalkan ruangan Pak Heri.

“Mari Bapak-Bapak dan Ibu! Ikut saya saja, saya bisa antarkan ke ladang kopi yang tidak jauh dari sini,” ujar Pak Arko mengajak tamu-tamu tersebut.

Sebelum bergegas ke ladang, Pak Arko telebih dahulu membalas pesan singkat dari telepon selulernya untuk mengajak ketiga pemuda yang biasa bekerja memetik kopi di ladangnya. Ia pun menjemput ketiga pemuda tersebut yang sempat kelihatan cemas karena menunggu cukup lama. Tamu-tamu tersebut pun mengikuti Pak Arko dengan mobil mereka sendiri. Mereka pun menuju ladang Pak Arko.

Sesampainya di sana, Pak Arko mengajak para tamu-tamu tersebut untuk melihat-lihat tanaman kopi yang ada di ladang tersebut. Ketiga pemuda melakukan aktivitas mereka seperti biasa, sementara kedua orang bule tersebut dengan antusias langsung menuju ke tanaman-tanaman kopi tersebut, memandang-mandang, sambil sesekali memetik biji dan daunnya. Mereka terlihat begitu tertarik dan langsung memanggil temannya orang pribumi tersebut. Mereka pun berbincang-bincang sejenak. Setelah itu, salah seorang Bapak tersebut mendatangi Pak Arko.

“Pak Arko, berapa luas ladang ini?” tanya Pak Budi.

“Oh, sekitar dua hektar, Pak.” Jawab Pak Arko.

“Apa bisa kami jadikan tempat penelitian kami?” tanya Pak Budi, “Kedua Bapak tersebut sangat tertarik dengan tanaman kopi di sini”, ucap Pak Budi sambil menunjuk ke arah bule tersebut.

“Mmmhhh..” Pak Arko bergumam sambil berpikir.

“Tenang saja, Pak! Bapak tetap bisa melakukan aktivitas  seperti biasa, kami akan memantau beberapa batang pohon kopi di sini, sambil kami juga akan menanam yang baru,” tukas Pak Budi, “Kami pun akan membayar sewa selama kami di sini,” lanjut Pak Budi lagi.

“Oh, oke!” Pak Arko mengangguk tanda sepakat.

Pak Budi pun langsung menuju kedua bule tersebut dan berbincang-bincang dalam bahasa Inggris. Kedua bule tersebut tampak sangat senang mendengar penjelasan Pak Budi tersebut. Mereka pun melanjutkan dengan berkeliling sekitar ladang tersebut. Pak Arko sesekali diajak berbicara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kedua bule tersebut melalui Pak Budi. Waktu pun berlalu begitu cepat ketika sore sudah tiba. Mereka pun segera bergegas meninggalkan ladang tersebut.

***

Setelah enam bulan, produksi kopi dari ladang Pak Arko semakin meningkat. Hal ini berkat bantuan dari tenaga ahli yang masih terus meneliti di ladang Pak Arko. Pak Arko pun mulai menambah pekerja baru untuk memetik kopi di ladangnya. Bahkan seterusnya, tidak hanya hasil kopi saja yang bertambah, bule-bule tersebut juga kerap kali mengundang banyak orang dari luar daerah untuk studi banding di kebun tersebut sambil mengajak mereka berwisata di Taman Wisata Iman Dairi. Hal itu pun turut meningkatkan kunjungan wisata dan ketertarikan untuk mengembangkan produksi kopi di Dairi.

 

Bandung, 15 Desember 2012, 15.00

Niko Saripson P Simamora

 

Education is the magic of life. Apart from the formal and informal, education process is part of life that can be understood as a process of absorption of the values ​​of life and live it to survive. Therefore, education should be the basis for life development. And education should be introduced early on in nature in a true corridor. It does not give the direct results that are invisible, but rather leads to the processing of the values ​​into the subconscious that when growing up recycled into a valuable memories that bring awareness effect.

Currently, education is limited as a process of face to face in the classroom between teachers and students. Education is limited as a process that time bordered for a subject and burdened with the tasks. Education designed to obtain a degree and a certain predicate which then becomes something that “wow” in the public eye. Educational institutions owned only given permission to minister. In fact, education is currently a site prospective business because the greater the chances are judged by the level of financial gain.

What are the effects of the limited understanding of education? All the people vying for educational institutions that offer luxury facilities, teaching staff who “educated”, title promises, programs are “minimized” to a reach “maximized” competency. In fact, everything will be developing educational field instantaneous. Made an instant political education, education is made for leadership, management education is made, and many other things that match. No one does wrong, but does with it, all the respect for education? No. Even with things like that, education becomes an easy thing and all things can be achieved by selecting a specific education to specific interests.

So, what to do? l’histoiredoit être répété. History should be repeated! We return to the day in which researchers and inventors of the concept of science that is still used now. How did they leave school and learn from nature and natural phenomenon. How did they find the concept is not taught in school and even considered crazy because it is different from what the teacher been gave. Education is free to produce something extraordinary. They have been educating the future through their concepts.

How does this apply today? It is not easy, but not impossible. Education must be returned to its spirit, how to humanize humans. Education is the cultural life of an independent and responsible. Let your children learn freely, in accordance with the interests and talents, their nature will be formed. Let the teachers teach freely without the rigid burden, nature will tell them what is most important is taught. Let the institutions still exist, but only as a rest house for discussion and exchange ideas, in the end nature will be a place to practice each of the study.

Finally, the whole education has been a magical life. Human existence becomes something that is prioritized and each human is responsible for a better civilization. Thus, the general welfare and peace is the result of absorption of these life values ​​that shape the culture of life, regardless of the boundaries of existing ones. Social awareness will be higher so that result harmony in building a social progress for each individual. Educating the future, not just an empty dream, but a hope that can be achieved even starting from today. We can!

 

Niko Saripson P Simamora

Sebelum membahas lebih dalam tentang pemimpin muda, perlu disepakati terlebih dahulu bahwa yang dimaksud pemimpin muda di sini adalah pemimpin maupun tokoh-tokoh yang sudah cukup dikenal secara nasional dengan rentang usia di bawah lima puluh tahun. Klasifikasi ini hanya didasarkan bahwa rentang usia tersebut secara umum menjadi puncak karier seseorang untuk berkarya dan masih jauh dari umur pensiun.

Jumlah pemimpin muda kini semakin meningkat, dari kalangan pejabat daerah hingga pentas politik nasional kini sudah mulai memunculkan wajah-wajah muda. Kemunculannya pun sangat menarik, karena berasal dari beragam latar belakang yang menunjukkan bahwa semua bidang saat ini sedang diwabahi sindrom pemimpin muda. Pemimpin muda sejauh ini dianggap bersih, enerjik, dan membawa perubahan. Golongan muda semakin tumbuh mekar, golongan tua mulai ditinggalkan.

Bila dirinci sedikit, mekarnya pemimpin muda dapat kita lihat mulai dari munculnya pucuk pimpinan partai secara nasional, diikuti dengan sesama pemimpin muda yang mengisi pos legislatif, lalu merambah ke dunia eksekutif di daerah yang diisi wajah-wajah muda juga memunculkan menteri-menteri muda di pusat bahkan ada yang belum menginjak usia empat puluh tahun ketika diangkat menjadi menteri, dunia kampus pun turut terstimulasi dengan munculnya dekan dan rektor muda, dunia bisnis pun tak mau ketinggalan. Kalangan muda saat ini tidak sebatas pada low management atau mentok di middle management, tetapi sudah merambah top management.

Kepemimpinan muda bukan produk baru yang dihembuskan akhir-akhir ini. Bahkan bila dirunut ke belakang, sejarah bangsa ini sendiri pun pernah menuliskannya. Bung Karno menjadi Presiden pertama negeri ini pada usia 44 tahun dengan wakilnya, Bung Hatta berusia 43 tahun menjadikan mereka masuk sebagai bagian dari presiden dan wakil presiden termuda di dunia. Begitupun Adam Malik, menjadi salah satu perdana menteri termuda di dunia ketika diangkat pada usia 44 tahun. Panglima Perang Indonesia pernah dijabat oleh Jenderal Besar Soedirman ketika masih berusia 23 tahun. Jelaslah bahwa kebutuhan pemimpin muda sejak dulu hingga sekarang bahkan untuk masa depan akan terus didambakan kehadirannya.

Kenyataan di atas seharusnya dapat dijadikan perbandingan dengan keadaan saat ini. Kepemimpinan muda saat ini masih menyisakan tanda tanya besar akan kualitas dan keandalannya. Bila masa lampau, tokoh-tokoh tersebut telah membuktikan kualitas dan keandalannya, bahkan cita rasanya masih dibawa-bawa hingga sekarang sebagai bumbu utama oleh beberapa kalangan untuk menarik simpati publik. Sementara cita rasa kepemimpinan sekarang belum terasa sedapnya, bahkan sudah mulai dimuntahkan ketika baru beberapa saat saja mencicipinya.

Keberadaan wajah-wajah muda yang muncul kini sudah ramai berurusan dengan penegak hukum. Hal ini menjadikan prestasi-prestasi yang sebelumnya diraih seolah menjadi garam tawar yang kehilangan rasa. Hambar. Maraknya kasus yang menyertakan pemimpin-pemimpin muda, dari kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelecehan terhadap kaum lemah dan masih banyak kasus lain yang belum terekspos dan ditutup-tutupi bisa memunculkan pesimisme baru bahwa kaderisasi kepemimpinan belum menunjukkan hasil yang baik.

Kualitas kepemimpinan muda saat ini akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang membentuknya. Keberadaan golongan-golongan tua pun tidak bisa diabaikan bahkan perlu disoroti ketika melakukan kaderisasi kepemimpinan. Nilai kepemimpinan apa yang diturunkan oleh para pemimpin pendahulu dan keteladanan apa yang bisa diambil dari mereka merupakan faktor yang mempengaruhi kepemimpinan saat ini. Bila masalah-masalah klasik seperti yang  telah disebutkan di atas yang justru subur dibandingkan gebrakan-gebrakan perubahan, maka golongan tua harus terbuka dan mau bertanggung jawab akan hal tersebut sambil berusaha untuk tetap memberikan teladan-teladan yang positif.

Cermin kepemimpinan masa lalu yang buruk harus menjadi bahan pelajaran seluruh elemen masyarakat. Bila selama ini, kepemimpinan buruk dianggap bersumber dari sistem yang buruk, sudah saatnya bahwa kepemimpinan harus dikembalikan ke rel sesungguhnya yaitu untuk menjadi pelayan dan memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang progresif. Lagu lama mengatakan bahwa ‘guru harus lebih pintar dari murid’ harus diubah menjadi ‘guru harus menjadikan murid lebih pintar dari dirinya’ yang dalam hal ini bahwa kepemimpinan harus menghasilkan bibit-bibit yang berbuah lebih banyak dan lebih manis.

Muncullah kiranya Pemimpin Muda yang bernasib baik.

 

Bandung, 9 Desember 2012, 15.34

Niko Saripson P Simamora