Keluarga

Keluarga Simamora na malo

Horas!

Salam sejahtera bagi kita semua. Apa kabar kalian semua? Saya harap baik-baik saja. Kita akan mendengar cerita tentang sebuah keluarga dari bangsa Batak yang bermarga Simamora tinggal di jalan Empat Lima No. 6B, Kota Sidikalang, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Jadi, simak baik-baik ya! Yang di belakang, silakan maju! Masih banyak kursi kosong di depan. Baiklah, selamat menyaksikan!

Keluarga ini terdiri dari seorang ayah yang kekar, seorang ibu yang super, dua orang anak perempuan yang cantik-cantik, dan dua orang anak laki yang ganteng-ganteng.  Sungguh keluarga yang berbahagia.

Ayah, bekerja sebagai seorang pegawai pemerintahan yang masih aktif. Dia adalah pegawai yang professional, berintegritas, ramah, bertanggung jawab dan banyak lagi. Dia memang layak menjadi teladan. Di rumah, dia dipanggil Bapak, Bapa, Pa’el, tergantung siapa yang memanggilnya. Kesehariannya adalah bangun pagi hari dan memaksa anggota keluarga yang lain untuk bangun pagi. Setelah bangun pagi, biasanya sudah doa pagi lebih dulu bersama teman hidupnya, ibu dari anak-anak, baru kemudian mengajak untuk sarapan dan bergegas untuk ke kantor. Pulang kantor, ia senang menghabiskan waktu di kebun untuk berolahraga katanya. Mungkin ini yang membuat si Pa’el ini tetap bugar. Menjelang malam, pulang ke rumah, mengajak makan malam semua penghuni rumah. Sebelum berangkat tidur, tidak lupa untuk memimpin ibadah keluarga. Melihat aktivitas ini, memang Pa’el sangat mendominasi pembicaraan di rumah. Itulah si Bapak.

Ibu, seorang paramedis yang bertugas di kelurahan. Di lingkungan pekerjaan, dia memang bukan teladan. Tapi di rumah, dia bisa jadi teladan terutama masalah kebersihan. Jangan sampai terlihat debu di rumah,itu prinsipnya. Oleh karena itu, setiap pagi senjata yang akrab menemani si ibu adalah sapu, kain pel, dan kain lap. Mantap! Si ibu, yang sering dipanggil Ma’el adalah “leher” bagi si Pa’el, terutama dalam masalah financial keluarga. Mungkin ini yang menyebabkan si Ma’el agak holit masalah materi, tujuannya biar semua tercukupi dan anak-anak belajar hemat. Di pagi hari si Ma’el dengan setia akan berdoa bersama dengan Pa’el, baru keluar dari kamar. Kegiatannya yang lain adalah ikut paduan suara bersama geng ibu-ibu di gereja, persekutuan doa, dan paling utama adalah menjadi pendamping si Pa’el. Ma’el ini pun terkenal cukup riting, tapi tetap sabar dan tidak banyak mengeluh. Itulah si Mama.

Anak perempuan yang pertama, sering dipanggil Kanai adalah anak yang baik, penurut, sabar dan banyak lagi. Bila dilihat dari karakternya, ia bisa dianggap mewarisi karakter Pa’el. Wajar saja, sosok ayah pasti sangat mempengaruhinya terutama dalam masa pertumbuhannya. Namun belakangan, sesudah ia membina kehidupan baru dengan laki-laki pilihannya, karakternya seakan-akan sudah mengarah ke si Ma’el. Wajar saja, dia mungkin sudah mengerti akan tanggung jawab sebagai seorang istri yang nantinya akan menjadi ibu. Begitulah si sulung cantik ini menjadi modal pertama si Pa’el dan Ma’el dianggap sebagai orangtua.

Kirmik, menjadi panggilan anak perempuan yang kedua ini. Bila dilihat dari karakternya, dia lebih condong ke Ma’el apalagi masalah keritingan dan finansial, kalau si Pa’el sering memanggilnya si murhing. Tapi, dia tetap adalah seorang anak yang baik, perhatian, dan sangat mencintai keluarga. Begitulah si Kirmik yang dalam kebersamaanya sering berselisih paham dengan Kanai di masa-masa kecil hingga masa sekolah bahkan mungkin hingga hari ini. Tapi itu menjadikan mereka kompak dan sering berbagi.

Kikong, ataupun kingkong adalah sebutan untuk anak ketiga sekaligus anak laki-laki pertama di keluarga ini. Ia adalah anak yang jugul, jogal, cuek, malas, pokoknya sangat susah diingatkan. Namun, ia juga merupakan anak yang cukup baik. Kesukaannya bermain bola tidak memandang kondisi, mau hujan, ada kursus, ada les pelajaran kosong, belum makan siang atau apapun kalau sudah diajak bermain bola, utamakan bermain bola. Begitulah si Kikong jugul ini sering menjadi pembuat sedih orang-orang sekitarnya. Dasar jugul.

Yang terakhir, si bungsu Kemong adalah anak terakhir dari keluarga ini. Ia sangat dekat dengan Ma’el, jelas saja, si bungsu. Bahkan ia rela untuk tidak TK demi sering bersama-sama dengan Ma’el, syukurlah dia tetap mau sekolah. Di masa-masa kecil, si bungsu ini adalah mitra bertengkar dari di Kikong, mungkin karena Ma’el memang seperti mengistimewakan si  Kemong dari si Kikong. Apalagi memang Kemong lebih baik dan lebih penurut dari si Kikong. Begitulah si Kemong yang sepanjang masa sekolahnya tinggal menetap bersama Pa’el dan Ma’el, betapa enaknya dia, berbeda dengan senior-seniornya di masa-masa SMA harus sudah jauh dari keluarga.

Begitulah perkenalan singkat dari anggota keluarga Simamora na malo. Sudah begitu banyak peran yang mereka alami dan sangat susah untuk menceritakannya. Oleh karena keterbatasan kami, cerita ini belum atau bahkan tidak bisa kami lanjutkan. Terima kasih telah menyimak cerita singkat ini. Sampai bertemu di pementasa-pementasan berikutnya.

 

(Dikutip dari kisah nyata karya agungTuhan Yesus terhadap keluarga Simamora)

Leave a comment