Archive for the ‘otak atik otak’ Category

Konten late post ternyata punya kelebihan (dokumentasi pribadi)

Kehidupan belakangan ini terasa hampa kalau tidak ada internet. Mau setuju atau tidak, hingga saat anda bisa membaca tulisan ini, itupun karena adanya internet. Kalau tidak ada internet, ya mati gaya Tulang (Paman)! Begitulah ungkapan bere (=keponakan dalam Bahasa Batak) saya kalau lagi pulang kampung.

Liburan Lebaran memang telah usai. Namun, tidak demikian dengan cerita-cerita late post yang tidak akan habisnya. Sebuah strategi yang seringkali kami ingatkan kepada keluarga, entah itu kakak beradik, keponakan, sepupu, bahkan orangtua sendiri. Kenapa?

Berpacu dengan konten di dunia maya, saat ini menjadi tren tersendiri. Generasi kini menyebutnya sebagai FOMO (fear of missing out). Ada kekhawatiran tersendiri ketika tidak bisa melakukan suatu aktivitas yang bisa menjadi bahan untuk ditayangkan di media sosial. Coba kita perhatikan saja orang-orang terdekat yang biasa menayangkan (posting) sesuatu di media sosial, ada rasa kurang semangat atau bahkan ada kecenderungan untuk selalu mencari kesempatan/kegiatan/hal lain yang bisa dijadikan konten.

Begitu konten ditayangkan melalui media sosial, konten tersebut akan menyusuri belantara luas dengan sangat liar. Dampaknya bisa positif, tetapi tidak menutup kemungkinan, ada efek negatif. Di sinilah perlu kebijaksanaan untuk mengelola konten di media sosial.

Contoh sederhana, ketika dengan segera ingin menayangkan konten yang berisi tentang perjalanan (travelling) secara langsung (live), mungkin dengan segera kita akan menerima banyak pesan melalui jalur pribadi yang meminta tolong untuk mengunjungi tempat tertentu, melakukan tantangan tertentu atau bahkan membawa titipan (oleh-oleh). Tentu tidak salah, namun coba kita pikirkan kembali apakah kita bisa menikmati perjalanan kita?

Atau untuk yang suka masak-memasak, apabila menayangkan konten secara langsung, namun ternyata tak diduga hasil masakan tersebut ternyata tidak sesuai harapan. Tentu hal itu membuat rasa kurang percaya diri bagi kita sendiri, ataupun respon yang kurang baik dari penonton. Namun, baik tayangan langsung maupun late post, kebijakan untuk menayangkan tetap ada pada si creator konten sendiri.  

Kembali ke strategi late post yang coba kami terapkan sebagai kebijaksanaan dalam mengelola konten. Hal ini terkait dengan pertimbangan untuk memastikan bahwa konten yang akan ditayangkan bisa lebih bertanggung jawab, mempertimbangkan keamanan pemilik akun dan keluarga.

Meski ternyata konten late post memiliki nilai keusangan, namun dibandingkan fokus pada kekurangan itu, kelebihannya pun ternyata lebih banyak. Penekanan ini yang selalu kami tekankan dalam keluarga.

IndiHome, penyedia internet pilihan keluarga Indonesia (sumber: indihome.co.id)

Ketika memilih untuk late post, kelebihan pertama yang bisa kita dapatkan adalah matangnya takarir/caption yang akan kita sampaikan. Konten dengan caption yang direncanakan atau dipikirkan akan bisa diarahkan menjadi sebuah storytelling yang menarik. Konten tersebut akan memiliki nilai informasi yang lebih dan bahkan reflektif.

Kelebihan kedua, selain caption, bila berbicara konten yang berisi audio visual, tentu bisa dilakukan proses editing yang lebih baik dan menarik. Ini juga berdampak baik sehingga ketika sedang liburan misalnya, kita lebih fokus menikmati suasana liburan dan kebersamaan, dibanding harus mengernyitkan dahi untuk duduk di pojokan sambil edit gambar/video, ataupun caption tadi.

Nah, kelebihan lainnya adalah konten late post yang bisa kita lakukan di rumah akan terasa sangat nyaman bila menggunakan internet provider yang terpercaya. Untuk hal ini, tentu IndiHome bisa menjadi pilihan terbaik. Kualitas internet dari Telkom Indonesia tersebut menjadi yang terbaik saat ini.

Setelah menayangkan konten late post, kita pun bisa dengan nyaman melakukan respon balik terhadap komentar maupun reaksi yang muncul seketika. Dengan IndiHome, kita bisa late posting tanpa batas. Dengan sendirinya kita pun bisa hemat kuota internet seluler.

Temaram Binar

Posted: June 25, 2019 in otak atik otak, puisi
Tags: , , ,

Jangkrik bersorak
Fajar takluk

Kaki tergerak
Jejak tercorak

Lidah berdesik
Tawa terpekik

Kulit tertusuk
Malam menukik

Temaram menyentak
Lamunan terserak

Ah tidak!
Binar menyeruak

Tak pilak
Sesaat berpihak

Hal terdesak
Perlu sesak?

Elegi dongak
Lipur Khalik

Sitoluama, 25 Juni 2019, 21:41 WIB
Niko Saripson P Simamora

Raja Belsyazar sebagai pemegang tampuk kekuasaan menggantikan ayahnya, Nebukadnezar suatu ketika mengadakan pesta perjamuan yang besar diikuti oleh seribu orang. Pesta diisi dengan minum-minum anggur, sehingga si Raja pun larut sampai pada akhirnya mabuk. Karena berada di dalam pengaruh minuman, sang raja pun memerintahkan sesuatu yang tidak pantas, yaitu menyuruh untuk mengambil perkakas dari bait suci untuk dipakai makan dan minum dalam pesta tersebut.

Semua hadirin dalam pesta makan dan minum dengan perkakas emas dan perak yang diambil dari Rumah Allah tersebut. Sambil menikmati makan dan minum, mereka memuji dewa-dewa dari emas, perak, tembaga, besi, kayu dan batu. Suatu hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang anak raja yang seharusnya memuja Allah.

Sementara itu, di tengah-tengah hingar bingar pesta, tampak jari-jari tangan manusia menulis pada kapur dinding istana raja, sementara raja turut memperhatikan punggung orang yang menulisnya. Sambil terus memperhatikan, sang raja menjadi pucat, pikirannya menerawang, dan kakinya terasa lemas. Karena begitu penasaran, sang raja meminta semua orang bijaksana, ahli nujum untuk datang kepadanya dan menerjemahkan apa yang menjadi maksud tulisan di dinding istana raja tersebut.

Dari beberapa orang yang terkenal sebagai orang pintar di negeri itu tidak satupun yang dapat menjelaskan makna dari tulisan yang terdapat di dinding istana raja tersebut hingga akhirnya sang permaisuri datang dan mengatakan masih ada orang yang bisa dipanggil untuk bisa menjelaskan tulisan itu. Sang permaisuri dengan penuh keyakinan bahwa Daniel alias Beltsazar dapat melakukannya karena ia pernah mengetahui hal tersebut ketika menerangkan mimpi pada saat Raja Nebukadnezar masih berkuasa.

Daniel, sebagai seorang abdi Allah pun dibawa ke hadapan raja. Ketika raja menawarkan hadiah yang pantas ia dapatkan bila mampu menjelaskan arti tulisan itu, Daniel dengan rendah hati tidak menerimanya dan bahkan menyuruh untuk memberikannya kepada orang lain. Motivasi Daniel sungguh sangat murni untuk menyatakan kebenaran. Dia pun lalu menjelaskan tulisan itu, yaitu Mene,mene, tekel ufarsin, Mene: masa pemerintahan raja telah dihitung dan diakhiri oleh Allah, Tekel: raja ditimbang dengan neraca dan terlalu ringan, Peres: kerajaan akan dipecah dan diberi kepada orang Persia dan Media. Daniel pun akhirnya memperoleh kekuasaan sebagai orang ketiga, dipakaikan kain ungu dan lehernya dikalungkan rantai emas. Daniel mendapat tempat yang terhormat ketika menjelaskan kebenaran yang ia peroleh dari relasi dengan Allah.

Di sisi lain, Raja Belsyazar mengalami nasib yang tragis, ia terbunuh pada malam itu juga. Kondisi yang sangat mengerikan ketika seorang raja yang mendapat warisan tahta dari ayahnya tidak mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan yang pernah ada. Sebagai seorang pemimpin, Raja Belsyazar mengabaikan hal kerendahan hati dan kemauan belajar. Oleh karena itu, dia pun akhirnya menanggung konsekuensi akibat tidak belajar dari sejarah.

‘l’histoire se repete’… Sejarah berulang..

(diadaptasi dari Daniel 5:1-30)

Jakarta, 19 Juni 2014, 12.25

Niko Saripson P Simamora

Mahkota

Posted: June 2, 2014 in otak atik otak, Uncategorized
Tags: , ,

Mahkota itu milikku

Tolong jangan sentuh

Mahkota itu milikku

Menjauhlah dari sisinya

 

Mahkota itu milikku

Tolong jangan dilihat

Mahkota itu milikku

Berpalinglah dari memandangnya

 

Mahkota itu milikku

Akulah yang pantas

Mahkota itu milikku

Yang lain tidak

 

Seruan itu adalah milik mereka

Para pegiat merebut hati

Melayangkan klaim sendiri

Tidak ada malu dirasa

 

Mahkota itu milik bersama

Mari kita perjuangkan saja

Mahkota itu milik bersama

Berbagi keringat dalam kerja

 

Mahkota itu milik bersama

Bukan simbol adu kuat

Mahkota itu milik bersama

Khalayak yang pantas berhajat

 

Mahkota oh mahkota

Kilaumu menjadi candu

Megahmu menjadi nafsu

Agungmu menjadi karsa

 

Sebaiknya mahkota dilebur saja

Simbol acapkali tanpa rasa

Hambar ketika sudah dikecap

Biarlah semua menjadi tegap

 

Kebanggaan akan mahkota taruh di hatimu saja

Sekali-sekali luapkan dengan mulutmu

Selebihnya nyatakan dengan kerja tanganmu

Niscaya mahkota akan abadi di semesta

 

Jakarta, 2 Juni 2014, 15.02

Niko Saripson P Simamora

Hari-hariku terlewati tanpa sengaja
Tanpa sengaja karena mereka datang
Mereka datang, terhenti, lalu pergi
Lalu pergi tanpa menandai jejak

Menandai jejak hanya menyapa sesal
Menyapa sesal tiada menambah asa
Menambah asa hanya isapan jempol
Isapan jempol seringkali mengusik mimpi

Mengusik mimpi diawali mentari pagi
Mentari pagi membawa tulang bergetar
Tulang bergetar adalah sarapan jiwa
Sarapan jiwa memuaskan lelah raga

Lelah raga tiada merusak semesta
Merusak semesta menjadi agenda pemberontak
Agenda pemberontak hanya selingan saja
Selingan saja tidak pernah menjadi utama

Menjadi utama laksana bukit menjulang
Bukit menjulang semua mata memandang
Mata memandang penjuru raya bermaklum
Raya bermaklum seketika wibawa membahana

Wibawa membahana pada masa jua
Masa jua ketika cahaya meredup
Cahaya meredup semesta terasa damai
Terasa damai tatkala diri terkurangi

Diri terkurangi seakan sebuah isyarat
Sebuah isyarat mengandung banyak makna
Banyak makna dirasa segenap jagad
Segenap jagad sejahtera mengecap rasa

Medan, 31 Januari 2014, 14.57 WIB Hari Raya Imlek
Niko Saripson P Simamora

Eben Haezer

Posted: August 20, 2013 in otak atik otak
Tags: ,

Dung i dibuat si Samuel ma sada batu, jala dipatindang di holangkolang ni Mispa dohot Sen jala dibahen goarna: Ebeneser, jala ninna do: Rasirasa nuaeng diurupi Jahowa do hita. (1 Samuel 7:12)

Sangat menarik memang memperhatikan perjalanan bangsa pilihan Allah, Israel yang pattang so billak itu. Ai sipata gabe las lomo-lomo ni halak i nama na mar Tuhan i. Beberapa generasi akan taat betul, tetapi setelah itu muncul kemudian generasi yang tidak taat. Allah menghukum, kemudian mereka kembali taat. Ima hajolmaon i, dang sai torus margogo mangadopi sude akka ulaon na.

Manusia berubah. Ya. Dan terus akan seperti itu. Bahkan muncul adagium yang mengatakan bahwa tidak ada yang kekal, kecuali perubahan. Ai imadah. Alani sai songon i do hajolmaon i, jadi dihilala jolma i do porlu hagogoon di luar hagogoon ni sandiri. Jala disi ma di patangkas tu hajolmaon i, dang boi jolma manghangoluhon ngolu na molo holan ala ni dirina.

Jelaslah bahwa hidup manusia tidak hanya karena dirinya, tetapi juga ada di luar dirinya. Ketika mengaitkan dengan batu yang didirikan oleh Samuel, sangat jelas diberikan nama “Ebeneser: Rasirasa nuaeng diurupi Jahowa do hita” (Eben Haezer : Sampai di sini TUHAN menolong kita) dengan kata lain,Allah yang Mahakuasa yang sudi menolong bangsa Israel.

Jelas sekali bahwa Samuel mengajak bangsa Israel untuk bersama-sama mengakui bahwa mereka membutuhkan pertolongan Allah dan juga mengakui akan kesalahan-kesalahan mereka di hadapan Allah. Dengan ini, mereka sadar sepenuhnya bahwa mengandalkan kekuatan diri sendiri tidak akan mampu menolong mereka menghadapi masalah-masalah mereka.

Ai burju hian Ho ale Tuhan, nang pe sipata dao jala mangalo hami tu uhum Mu. Alai dibagasan holong, sai dijalo Ho do angka pangidoannami. Ajar-ajari hami, asa boi tongtong mangulahon sude angka lomo ni rohaM.

Handil Enam, 19 Agustus 2013, 16.44 WITA
Niko Saripson Pandapotan Simamora

Kuhidup BagiMU?

Posted: August 7, 2013 in otak atik otak
Tags: , , ,

Sejak pagi hujan mengguyur kota ini. Suasana yang sangat nyaman untuk menyentuh kasur dan larut dalam tidur. Sementara teman-teman masih menikmati saat-saat beristirahat mereka, seperti biasa sehabis sahur, apalagi ini yang terakhir untuk ramadhan tahun ini. Kebetulan saya ikut sahur bersama kali ini, terbangun dan tidak bisa tidur lagi.

Tidak ada semangat mengerjakan apapun. Pekerjaan menumpuk, tapi tak ada niat mengerjakannya. Acara televisi pun tak ada yang begitu menarik. Namun, setelah gonta-ganti saluran, saya berhenti di tayangan langsung sepakbola antara Juventus melawan Inter Milan. Kebetulan saya penggemar klub Juventus, terutama Del Piero kala itu. Jadilah saya menonton bola tapi dengan gaya ogah-ogahan hingga ketiduran di sofa.

Kemudian saya terbangun dan menonton lagi. Lalu beranjak menuju meja kerja untuk menatap komputer dan berniat mengerjakan sesuatu. Banyak rencana yang ingin saya kerjakan, namun semua hanya berputar-putar di kepala saja. Belum banyak yang benar-benar saya kerjakan atau baru hanya mulai mengerjakan tanpa tindak lanjut atau juga memulai saja belum. Oh tidak! Betapa acaknya momen ini. Saya hanya bisa berpikir tanpa berbuat hingga saya berpikir lagi supaya saya tidak berpikir seperti itu demi mencegah stress. Benar-benar acak.

Saya mencoba memutar lagu dan terpasang di sana lagu yang cukup menarik. Potongan liriknya seperti ini, “..kalau kuhidup, kuhidup bagiMu, hatiku tetap, tetap menyembahMu,dst…”. Betapa indahnya lagu tersebut mengalun di telinga saya yang sedang berpikir acak ini. Saat itu, diri saya dibawa kepada perenungan terhadap kata-kata yang terdapat pada lagu tersebut. Ya, saya cukup lama terdiam memasang telinga benar-benar kepada lagu tersebut dan makna yang terkandung di dalamnya.

Kuhidup bagiMU? Ya, sebuah pertanyaan besar bagi saya saat ini. Setelah setahun menyandang gelar sarjana lalu masuk dunia profesional, adakah kuhidup bagiMu? Setelah melewati masa-masa, indah dalam persekutuan dan pergaulan, adakah hatiku tetap menyembahMu? Hujan ini menjadi pengguyur jiwa yang sedang kering, membasahi ruang-ruang yang mulai tandus, dan tanda bahwa Dia hadir setiap saat.

“Ya Allahku, jadilah kehendakMu dalam hidupku, ajarlah ku mengerti jalan-jalanMu sehingga aku bisa hidup bagiMu. Amin”

Balikpapan, 7 Agustus 2013, 10.47 WIB

Niko Saripson Pandapotan Simamora

Betapa beruntung nasib seorang Ester ketika Raja Ahasyweros-raja atas seratus dua puluh tujuh daerah dari India sampai Etiopia- mengangkatnya menjadi ratu menggantikan Ratu Wasti yang dilengserkan dari permaisuri hanya karena menolak menaati titah raja, yang bila dipikir-pikir cukup sederhana. Bila dibandingkan saat ini, mungkin ratu itu habis diolok-olok oleh perempuan lain di lingkungan kerajaan padahal hanya diminta ‘tepe-tepe’ oleh Raja Ahasyweros.

Bila diperhatikan, hal itu menjadi sebuah sindrom kekuasaan pertama yang muncul di kalangan istana. Raja dengan segala kekuasaannya memiliki kewenangan yang tak terbatas atas segala hal, selama itu di daerah kekuasaannya. Di lain sisi, Ratu Wasti pun tak mau kalah. Emang lu aja yang bisa berkuasa, Gua juga pengen. Mungkin itu yang mendasari beliau tidak menghiraukan titah sang Suami.

Raja atas bisikan dari pembesar-pembesar yang juga memiliki sindrom kekuasaan akhirnya membuang sang ratu. Tragis sekali. Kecenderungan manusia memang selalu ingin menampilkan kekuasaannya, apalagi laki-laki. Jadilah Raja Ahasyweros tanpa permaisuri, sehingga sesuai pesan dari pembesar-pembesar, diadakanlah sayembara untuk mencari perempuan-perempuan tercantik yang beruntung dari seluruh negeri untuk dijadikan Ratu.

Berita itu santer hingga ke telinga Mordekhai, orang buangan dari Yerusalem yang tinggal di sekitar Benteng Susan. Ia pada waktu itu mengasuh Hadasa, anak saudara ayahnya yang sudah yatim piatu. Ester, sebutan lain Hadasa, adalah seorang yang elok perawakannya dan cantik parasnya. Ia pun turut sayembara dan mengikuti prosedur yang ada. Dalam pada itu, Mordekhai senantiasa mendukung dengan berjalan tiap-tiap hari dari depan istana untuk mengetahui keadaan jagoannya itu.

Ester menjadi seorang ratu, namun Ia tetap menghargai Mordekhai sebagai ayah angkatnya. Mordekhai pun begitu, tidak serta merta merasa dekat dengan lingkaran kekuasaan. Bahkan mereka masing saling kontak, begitupun ketika Mordekhai mengetahui persekongkolan untuk membunuh raja. Mereka bekerja sama secara apik. Ester menjadi informan kepada raja, Mordekhai pun tidak serta merta merasa sok pahlawan.

Sindrom kekuasaan kemudia terpancar dari Haman, pembesar yang dinaikkan pangkatnya oleh raja pada saat itu sudah mengetahui keberadaan Mordekhai  dan bangsanya. Sindrom kekuasaan memang dipengaruhi  oleh motif pribadi. Ia kemudian melapor kepada raja dan ingin memunahkan mereka. Mordekhai tak punya kuasa menghadapinya, ia pun hanya bisa berkabung dan diikuti oleh bangsanya sehingga kedengaran kepada Ratu Ester.

Dengan segala upaya, Ratu Ester memanfaatkan kekuasaannya untuk sebesar-besar keselamatan bangsanya. Inilah sindrom kekuasaan yang positif. Kekuasaan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kesejahteraan banyak orang. Pada akhirnya, kekuasaan yang dimanfaatkan dengan benar memberikan kemenangan kepada semua orang. Haman pun harus mati di tempat penyulaan yang disediakannya untuk Mordekhai. Di lain sisi, Mordekhai semakin dihormati bahkan diberikan ‘bintang mahaputra adipradana’ oleh Raja Ahasyweros. Menarik sekali bukan?

 

Jakarta, 26 Juni 2013, 18.50

Niko Saripson P Simamora

Diadaptasi dari Ester 1-10

 

Sore itu, langit cukup cerah dan cuaca pun bersahabat untuk keluar rumah (baca: kosan orang yang saya tumpangi 🙂 ). Setelah sepanjang hari mendekam di kosan untuk melawan rasa pusing di kepala dengan bantuan sebutir tablet mengandung paracetamol keluaran sebuah perusahaan farmasi yang berpusat di kota ini, Bandung. Udara di luar rumah terasa lebih segar, suasana terasa lebih hangat, pemandangan lebih menarik (tentu anda mengerti pemandangan seperti apa 🙂 ).

Perjalanan diawali dengan ketidakpastian arah tujuan. Tentu saja. Tidak ada perencanaan sebelumnya, namanya juga mau raun-raun alias seputaran alias jalan-jalan santai. Melewati Monumen Perjuangan, terasa ramai karena ada acara pameran bisnis. Sepintas timbul pemikiran untuk memulai bisnis, dimotivasi lagi dengan ada beberapa teman yang sudah merintis bisnis dan mulai berkembang. Pemikiran tersebut berlalu seiring langkah kaki beranjak menuju tempat lain.

Kali ini, kaki terhenti di kawasan hiburan pendidikan (terjemahan dari sebuah tempat di pagargunung). Buku. Ya, tempat itu dipenuhi buku, terutama buku-buku lama yang bila sepintas dilihat sangat menarik. Sangat menarik berarti setiap melihat satu buku timbul keinginan untuk membacanya, namun terpintas lagi buku lain, timbul lagi keinginan membaca, begitu seterusnya. Sangat menarik bukan?hehe. Tidak terasa sejam berlalu hanya berkutat di dinding buku(setiap dindingnya disandarkan lemari buku). Keinginan hati ingin meminjam banyak buku, namun setelah dipikir-pikir, belum tentu semua akan dibaca mengingat jadwal yang sudah tidak teratur alias serba dadakan.

Langkah kaki beranjak meninggalkan tempat itu berjalan menuju arah yang belum terpikirkan hingga tidak sengaja perhatianku tertuju kepada pedagang helm di tepi jalan yang sedang membenahi barang dagangannya untuk disimpan dalam sebuah mobil pengangkut barang berbak terbuka. Bukan orangnya yang menarik perhatianku, pun bukan mobil pengangkut barangnya, apalagi harga helmnya. Nah benar! Helmnya menarik perhatianku.

Ada berbagai macam jenis helm, dapat dibagi berdasarkan harganya, modelnya, kualitasnya, dan lain-lain (yang saya tidak tahu lagi). Saya memandang helm itu sebagai sebuah pola pikir. Ketika kita melihat-lihat helm mana yang menarik kita akan mencobanya sambil bercermin mungkin atau bertanya kepada penjualnya ataupun hanya merasa-rasakan kalau helm itu nyaman atau tidak. Terpikirkan olehku ketika kita juga mengadopsi pola pikir, kita akan memilah dan kemudian memilih mana yang cocok bagi diri kita. Yang menjadi perhatian adalah dari segi mana kita merasa nyaman dan cocok dengan “helm” (baca:pola pikir) tersebut.

Imajinasiku mengangkasa jauh menerawang ke area yang aku pun tidak mengerti kenapa bisa mengarah ke situ. Sambil menyentuh-nyentuh kepala, aku membayangkan sedang memakai “helm” siapa? “Helm” yang aku pakai sekarang masih standar kah atau sudah mulai tergerus pola-pola helm lain yang sejauh ini cukup mempengaruhiku. “Helm” dunia acapkali kugunakan ketika aku tahu bahwa ada “helm” ilahi yang standarnya paling tinggi melampaui semua standar “helm” yang ada di dunia. “Helm” ilahi itu memang kadang tidak menarik, tidak modis, warnanya norak, dsb. Tapi satu hal, “helm” itu paling kuat menjaga kepala agar tetap aman. Nah, sekarang helm siapa yang kau pakai? (sambil tunjuk hidung sendiri).

Bandung, 6 Mei 2013, 13.15

Niko Saripson P Simamora

Mimpi Yang Kenyataan

Posted: March 22, 2013 in otak atik otak
Tags:

 

Bangun pagi hari ini terasa berbeda. Ada sebuah perasaan yang tak biasa. Dimulai dari bangun pagi yang lebih awal dari hari-hari sebelumnya, bahkan lebih awal dari alarm kawan-kawan sekamar yang biasanya akan terus sahut-menyahut dari jam lima pagi sampai jam setengah tujuh. Ya, ada empat orang sekamar, walau kapasitas kamar berenam dengan tiga buah tempat tidur bertingkat. Satu pasang tempat tidur sering ditinggal penghuninya karena tidak tahan dengan pengatur suhu ruangan yang selalu dipasang tidak lebih dari enam belas derajat. Dua orang itu akan mencari kamar dimana suhu ruangannya lebih dari atau sama dengan suhu kamar pada umumnya. Empat orang lainnya tetap bertahan dengan posisi dua di atas dua di bawah. Alarm dua orang di atas ini yang sering sahut-menyahut  di pagi hari. Namun pagi hari ini, mereka kalah denganku. Apa-apaan ini.

Selimut sempat kutarik dan kurapatkan lagi ke tubuhku, tapi mata tak mau menutup lagi. Perasaan yang tak biasa itu cukup menggangguku. Dengan perasaan seperti itu, aku mengambil keputusan untuk keluar kamar menuju toilet. Kubuka pintu kamar, di luar sudah mulai sibuk ternyata. Kamarku hanya berjarak dua kamar dengan toilet. Dengan langkah terbata-bata, aku menuju toilet. Ternyata sudah banyak yang antri. Lah, di pagi-pagi seperti ini, sepuluh toiletpun masih kurang, pikirku. Jelas saja. Ada kurang lebih seratus orang penghuni blok ini dengan jumlah kamar enam belas. Satu orang tiap kamar yang terbangun sepagi ini, masih akan membuat orang mengantri.

Kualihkan langkahku, tak kuambil waktu mengantri. Kudekati wastafel, kubuka kran sedikit, kubasuh mukaku seadanya. Yang penting cukup segar bagiku untuk melangkah ke arah aula makan. Perasaan aneh ini membawaku bergerak tanpa berpikir panjang. Setibanya di aula makan yang berjarak sekitar lima puluh meter dari blok kamarku. Sebelum masuk, terlebih dahulu menempelkan kartu makan yang sudah dibagikan oleh kontraktor penyedia layanan makanan dan hiburan sejak aku masuk ke kamp ini. Kunikmati sarapan pagi ini, menu sarapan yang sudah  enam kali persis kumakan selama di sini. Sambil terus menikmati makanan, aku coba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Tiba-tiba kutersenyum. Aku bermimpi sewaktu tidur. Sambil mengunyah makananku, aku teringat akan mimpiku. Mimpiku cukup aneh, namun menyenangkan. Harapanku, mimpiku jadi mimpi yang kenyataan. Amin.

 

Tanjung Ulie, 22 Maret 2013. 15.22 WIT

Niko Saripson P Simamora