“Indonesia adalah negara agraris”, jargon ini kemungkinan sudah sering terngiang-ngiang di telinga kita. Saya sendiri mengenal ungkapan ini ketika masih duduk di kelas tiga sekolah dasar, di saat mana anak mulai dianggap sudah mahir membaca dan bisa disusupi pelajaran tentang pengetahuan umum atau dulu dikenal dengan ilmu pengetahuan sosial. Memandang hal tersebut, dapat kita anggap bahwa komoditas utama bangsa ini adalah agraria atau pertanian.
Bahwa sesungguhnya, komoditas bisa diartikan sebagai barang dagangan utama, sehingga penambahan kata utama dapat dianggap sesuatu yang berlebihan atau merupakan sesuatu yang dianggap sangat utama. Saya tidak cukup mengerti dengan hal ini, mungkin ada proses gramatikal yang menjadikannya seperti , biarlah menjadi domain ahli tata bahasa. Yang terpenting adalah kita bisa mengerti maknanya.
Nah, mari kita kembali ke pembahasan tentang agraria. Pembahasan ini pun sekaligus mengajak kita untuk menutup mata sekejap tentang kenyataan bahwa negeri ini juga memiliki kekayaan alam laut yang besar. Mari kita pusatkan perhatian terhadap tanah yang subur, iklim yang baik, dan sumber daya manusia yang banyak. Dengan memandang kekuatan ini, adalah wajar bila negeri ini seharusnya adalah produsen bahan pangan dan hasil pertanian lainnya.
Namun, kenyataannya tidak sepenuhnya seperti itu. Kita dengan sadar penuh menjadi pengimpor beras, gula, dan bahan pangan lainnya. Malukah kita dengan fakta ini? Seharusnya! Kalau malu, kenapa tidak berusaha memperbaikinya? “Kan ada pemerintah”,”Itu kan urusan petani”,”Teknologi kita kan terbatas”, mungkin menjadi sebagian jawaban yang bisa timbul. Semua itu sah-sah saja akibat banyaknya kepala-kepala pemikir di negeri ini. Begitupun saya sendiri, yang sampai saat ini hanya ikut-ikut berpikir tentang ini. Dengan berpikir, saya menganggap sebagai sebuah kontribusi untuk turut membantu membangun reruntuhan ini, walaupun bisa saja menjadi boomerang yang menyerang saya. Ini tantangannya.
Apa yang saya pikirkan? Menurut saya, apa yang bisa membangkitkan kembali agraria ini adalah mendorong kembali masyarakat tani untuk lebih bersemangat melakukan praktik pertanian. Ini bisa dianggap sebagai ide utamanya yang kemudian bisa diturunkan menjadi banyak hal, seperti : penggunaan teknologi, transaksi penjualan yang jelas, distribusi yang lancar, dan masih banyak lagi. Siapa yang bisa melakukannya? Siapapun seharusnya bisa, tetapi dalam pikiran saya sedikit bergejolak dengan kecenderungan mengarahkan pandangan kepada rekan-rekan sesama anak bangsa yang saat ini menjajal pengetahuan tentang pertanian di kampus-kampus yang menyediakan menu kejuruan pertanian. Dengan bekal ilmu-ilmu teori, tentunya harus dilengkapi dengan bumbu praktik, bisa menjadi kekuatan lebih untuk membangun pertanian dibandingkan yang lain. Terkesan idealis memang, tapi menurut saya masih dalam tataran yang bisa diterima dengan logika. Nah, masalahnya sekarang adalah individu masing-masing. Kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan yang ada bahwa kebanyakan oknum-oknum jebolan sekolah pertanian justru menjajal bidang lain di luar pertanian itu sendiri. Kita lihat saja, betapa ramainya karyawan bank yang merupakan alumni sekolah pertanian tersebut, atau kasus lainnya dengan nada yang cukup sama. Betapa sayangnya pengetahuan tersebut, seolah menjadi sia-sia. Seandainya ilmu tersebut diterapkan pada lahan yang tepat, bukan tidak mungkin bisa meningkatkan kembali semangat untuk bertani, pemanfaatan teknologi yang tepat, peningkatan hasil produksi, dan banyak lagi hasil positif yang bisa ditimbulkan.
Hasil pemikiran ini, tidak bermaksud untuk memojokkan pihak tertentu, di lain sisi justru untuk membangun kesadaran masing-masing akan apa yang bisa disumbangkan untuk membangun negeri yang kita cintai ini. Salam Indonesia!!!
Niko Saripson P. Simamora
Bandung, 24 Februari 2011, 01:24