Perilaku korupsi yang sudah mendarah daging di republik ini memang sudah menjadi agenda spesifik yang sedang diupayakan untuk diberantas dari segala aspek yang memungkinkan. Aktor utamanya memang diorganisasikan dalam sebuah badan yang dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan sebuah harapan untuk menggiring semua aspek yang kena-mengena dengan korupsi memiliki semangat untuk tidak akan korupsi lagi sambil tetap bekerja untuk bersih-bersih dari noda besar hingga debu kecil yang masih hinggap. Semangat ini harus senantiasa dijadikan roh dalam pemberantasan korupsi sehingga darah maupun daging yang koruptif bisa dijernihkan kembali.
Tidak mudah memutar haluan untuk mengubah kebiasaan korupsi yang sudah mendarah daging tersebut, bahkan ditengarai sebagai sebuah perilaku yang sistemik, sehingga muncul gebrakan untuk mengubah sistem. Hal ini tentu menjadi sebuah tesis yang perlu dikaji lebih dalam lagi. Pernyataan ini berawal dari pengakuan seorang wakil rakyat, pesohor sekaligus terpidana korupsi yang divonis 4,5 tahun oleh majelis hakim. Kritikan terhadap sistem menjadi ‘kambing hitam’ yang cukup normatif untuk digembar-gemborkan alih-alih mengakui motif pribadi bahkan kelompok untuk mengambil keuntungan dan menyukseskan kepentingan sepihak. Entahlah! Kecenderungan manusia memang akan selalu mempertahankan diri, kata lain dari menyerang balik, untuk menghindarkan diri dari rasa bersalah yang seharusnya menjadi aib.
Di lain sisi, pendapat seorang ahli hukum tata negara menyebutkan bahwa sebaik apapun sistem yang dirancang tetap akan berhadapan dengan kenyataan bahwa korupsi akan selalu dilakukan dengan segala kreativitas yang muncul bersamanya. Hal ini harus kembali dipahami sebagai kecenderungan manusia yang sudah dipengaruhi oleh dosa kesayangan, sehingga akan terus berusaha melakukan dosa tersebut bagaimanapun kondisinya. Kita bisa berkaca pada pernyataan seorang pengacara asal Inggris, Francis Bacon (1561-1626), “Manusia berpikir sesuai kecenderungannya, berbicara sesuai dengan apa yang dia pelajari, tetapi bertindak sesuai kebiasaannya”.
Kecenderungan seperti di atas juga diutarakan oleh seorang anggota parlemen yang melakukan penelitian untuk memperoleh gelar doktornya. Dikatakan bahwa motif ekonomi dan kekuasaan menjadi faktor utama terjadinya perilaku korupsi yang hingga detik ini masih menggurita di kalangan wakil rakyat. Dengan sendirinya, tidaklah heran melihat segelintir anggota parlemen yang diproses hukum akibat masalah korupsi. Hal ini tidak terjadi hanya di pusat, juga menular hingga daerah dengan ‘kreativitas’ yang minim sehingga lebih terkesan lazim dan menjadikan masyarakat seolah-olah toleran. Solusi yang ditawarkan untuk mengantisipasi hal tersebut secara umum dapat dipahami sebagai sebuah perbaikan sistem dalam proses pengerahan/rekrutmen anggota legislatif dan juga untuk instansi/lembaga lain.
Merujuk kembali kepada pendapat ahli hukum tata negara tersebut, bahwa yang mendesak untuk dilakukan saat ini adalah menegakkan peraturan yang ada setegak-tegaknya sebelum dievaluasi kembali dalam rangka merancang sistem dan/atau peraturan untuk menajamkan taring pemberantasan korupsi. Inipun menjadi tugas segala lini dalam pengorganisasian negeri ini. Tantangan terbesar adalah menegakkan hukum yang setegas-tegasnya dan seadil-adilnya terhadap perbuatan korupsi yang bisa dijadikan preseden untuk memberikan efek jera dan takut untuk memulai korupsi. Dengan sendirinya, perilaku korupsi menjadi sesuatu yang diharamkan di negeri ini.
Oleh karena itu, semangat antikorupsi menjadi sesuatu yang harus progresif diperjuangkan secara terus menerus. Tidak ada kata lelah untuk berhenti bahkan jeda sesaat. Efek korupsi yang tidak kelihatan kasat mata secara tak sadar akan terus menggerus kesejahteraan umum bahkan lebih dari itu akan merusak kehormatan bangsa sendiri. Pusara-pusara korupsi yang selama ini dibangun di banyak lembaga yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat di negeri ini harus segera dibongkar paksa secara sadis melebihi usaha-usaha penggusuran rakyat kecil. Atas nama kesejahteraan rakyat, tidak ada tempat bagi pusara-pusara yang dibangun secara koruptif di negeri ini.
Bandung, 12 Januari 2012, 17.00
Niko Saripson P Simamora