Perenungan akan judul yang diungkapkan di atas banyak membawa kita kepada sebuah penyerahan diri alias pasrah dalam sebuah pengharapan. Setidaknya ini yang saya alami ketika berada dalam sebuah jalur aman tenteram bebas hambatan tanpa kemacetan, dalam perspektif saya. Ya, rencana saya lulus di hari wisuda pertama pada suatu tahun kabisat walau dengan nilai secukupnya namun kebanggaannya adalah bisa menyentuh masa kelulusan lalu terhindar dari fase pengangguran untuk beranjak dalam sebuah pekerjaan yang sudah di depan mata dan hal ini juga masih menurut pandangan saya. Saya berdoa dan meminta dukungan doa dari keluarga, teman, banyak orang yang sempat bertanya tentang rencana hidup saya. Dalam masa-masa akhir studi, pertanyaan-pertanyaan yang seringkali muncul adalah apa yang menjadi rencana setelah lulus dan dikaitkan dengan perwujudan visi ke depan.
Segala sesuatu tampak baik-baik saja, bahkan lebih dari itu, banyak orang yang berpandangan bahwa apa yang menjadi rencana saya ke depan begitu baik sehingga saya diingatkan untuk senantiasa bersyukur, dan saya mengamininya dengan penuh percaya diri. Tidak ada kata ragu-ragu apalagi pesimis ketika orang lain bertanya tentang langkah hidup saya ke depan. Dengan percaya diri, saya akan bercerita bahwa saya akan lulus dan setelah itu akan langsung bekerja di sebuah perusahaan jasa yang berkaitan dengan keilmuan saya, saya akan bekerja beberapa tahun di sana sebelum saya akan memilih jalan untuk mengabdi bagi negara ini. Saya kira itulah perjalanan hidup saya di depan lengkap dengan sebuah keyakinan akan perwujudan visi yang seolah-olah sudah saya raih. Betapa indahnya hidup saya bukan?
Namun apa yang terjadi, ketika di akhir semester 9 (korupsi satu semester nih) yang saya ambil, saya diperhadapkan dalam sebuah kenyataan yang tak ada dalam rancangan saya sebelumnya. Bila dalam sebuah perencanaan, bahkan dalam plan C tidak termasuk. Wow! Hal ini seolah-olah sedang membangunkan saya dari indahnya mimpi yang sudah saya bayang-bayangkan sebelumnya. Hingga beberapa saat waktu, saya belum paham akan kenyataan ini, masih terpikirkan oleh saya mimpi yang saya maksudkan di atas. Kenyataan bahwa anda memperoleh nilai gagal kembali di satu mata kuliah yang saya ulang dan diberikan kesempatan untuk mengikuti ujian perbaikan, namun masih gagal juga adalah sebuah cerita misteri yang tak mudah diungkapkan. Perasaan yang meliputi saya seketika adalah merasa betapa bodohnya saya. Bahkan lebih hina dari itu, saya bahkan merasa tak berharga apa-apa. Ya, bagaimana saya harus menjelaskan kepada orangtua saya, keluarga saya, dan teman-teman yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa saya gagal dan harus mengulang lagi. Sebagai anak Tuhan, saya merasa sangat rendah dan tidak berharga. Prestasi saya dalam studi saya hanya sebatas kaum medioker, bahkan mungkin lebih di bawah lagi. Tidak ada yang dapat saya andalkan dalam keterampilan saya, semua serba minimul,eh minimam, eh minimum,eh minimal:)).
Belum lagi saya harus menghadapi kesulitan dalam pengerjaan tugas akhir yang saya benar-benar saya ambisikan. Dengan sangat terpaksa sembari mengubur ambisi untuk berbuat sesuatu melalui tugas akhir saya, saya memberanikan diri menghadap dosen pembimbing dan meminta persetujuan untuk beralih dari topik yang saya damba-dambakan tersebut, dan berganti dosen pembimbing dengan topik yang tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Kenyataan ini harus saya hadapi dengan perasaan tidak menentu, di satu sisi saya berjuang untuk cepat lulus, di sisi lain saya mengubur sebuah mimpi idealisme untuk berbuat sesuatu terhadap kampung halaman. Ya, semua hal-hal yang sudah saya rencanakan dan sudah saya damba-dambakan sebelumnya seketika terkubur rapi. Sekarang saya bukan hanya sekedar berada di persimpangan jalan, lebih dari itu, saya seolah berada di tepi jurang kehancuran kredibilitas. Atas nama manusia, saya gagal dan terlihat begitu tak berdaya.
Saya memandang kepada diri saya bersandarkan kemuliaan orang-orang yang berada di sekitar saya. Ya, saya akhirnya membuat perbandingan-perbandingan dengan sekeliling saya, menurut ukuran yang baik di mata orang-orang secara umum dan saya menyetujuinya. Saya adalah orang yang tidak ada apa-apanya, dan tidak akan menjadi apa-apa. Hingga oleh karunia Tuhan, melalui orang-orang yang ada di sekitar saya, saya diingatkan kembali betapa rendah, bodoh, dan sempitnya pemikiran saya seperti ini. Ya, saya merasa semakin kecil dan remeh. Tapi itu hanya sesaat, ketika lagi-lagi oleh karunia Tuhan semata mengingatkan saya dalam perenungan pribadi akan keberadaan saya. Seketika pemikiran saya diubahkan dan dibaharui ke dalam sebuah pengertian yang tidak pernah terbayangkan. Pola pikir saya berbalik seratus delapan puluh derajat dari minus tak hingga menuju arah positif tak hingga berporoskan titik origin dalam sumbu x-kartesian yang diibaratkan sebagai sebuah perubahan pola pikir. “RancanganKU bukanlah rancanganmu!”
Niko Saripson P Simamora
Bandung, 5 April 2012, 19.30
(bahagianya lulus Fotogrametri II,.hehe.)