Archive for June, 2014

Selamat enam puluh

Posted: June 27, 2014 in puisi
Tags: , , ,

Menanti dan menanti itu lah yang kau lakukan

Sebagai pewaris nama engkau sangat mengharapkannya

Perasaan was-was tentu yang ada

Tatkala bukan kita yang memiliki kuasa

 

Engkau hanya merajut asa

Sepanjang ada masa engkau selalu berharap

Kesedihan sempat menaungi rasa

Namun engkau tahu selalu ada surya pembawa tawa

 

Ketika kita berjumpa engkau di usia prima

Senyum tawamu pasti merekah luar biasa

Telah hadir irama surga pembawa marwah

Tiada henti-hentinya engkau mengungkap syukur

 

Selalu menjalin interaksi jiwa bersamanya

Terunamu harus menjadi seorang yang tangguh

Ajaranmu menjadi suluh baginya

Semangatmu selalu menjadi inspirasinya

 

Marah geram mungkin hal yang minor

Suka duka  itu harus selalu ada

Namun engkau selalu menyisakan darma

Mendidik buah hatimu dengan sepenuh hati

 

Siapa yang tidak bersyukur saat ini

Melihat rambut putihmu

Memandang kerutan wajahmu

Semua berubah diuji waktu

 

Apa yang kelihatan akan berlalu

Tetapi masa depan sungguh ada

Itu yang menjadi harapan kita

Di setiap usia selalu ada sukacita

 

Kuatmu di tiga puluh lima

Pasti berbeda saat ini di enam puluh

Sang Khalik sungguh mengasihi kita

Pertemuan kita penuh makna

 

Selamat menjalani masa-masa usia indah

Masa-masa di depan adalah kebahagiaan

 

 

Jakarta, 27 Juni 2014, 11:26

Niko Saripson P Simamora

Raja Belsyazar sebagai pemegang tampuk kekuasaan menggantikan ayahnya, Nebukadnezar suatu ketika mengadakan pesta perjamuan yang besar diikuti oleh seribu orang. Pesta diisi dengan minum-minum anggur, sehingga si Raja pun larut sampai pada akhirnya mabuk. Karena berada di dalam pengaruh minuman, sang raja pun memerintahkan sesuatu yang tidak pantas, yaitu menyuruh untuk mengambil perkakas dari bait suci untuk dipakai makan dan minum dalam pesta tersebut.

Semua hadirin dalam pesta makan dan minum dengan perkakas emas dan perak yang diambil dari Rumah Allah tersebut. Sambil menikmati makan dan minum, mereka memuji dewa-dewa dari emas, perak, tembaga, besi, kayu dan batu. Suatu hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang anak raja yang seharusnya memuja Allah.

Sementara itu, di tengah-tengah hingar bingar pesta, tampak jari-jari tangan manusia menulis pada kapur dinding istana raja, sementara raja turut memperhatikan punggung orang yang menulisnya. Sambil terus memperhatikan, sang raja menjadi pucat, pikirannya menerawang, dan kakinya terasa lemas. Karena begitu penasaran, sang raja meminta semua orang bijaksana, ahli nujum untuk datang kepadanya dan menerjemahkan apa yang menjadi maksud tulisan di dinding istana raja tersebut.

Dari beberapa orang yang terkenal sebagai orang pintar di negeri itu tidak satupun yang dapat menjelaskan makna dari tulisan yang terdapat di dinding istana raja tersebut hingga akhirnya sang permaisuri datang dan mengatakan masih ada orang yang bisa dipanggil untuk bisa menjelaskan tulisan itu. Sang permaisuri dengan penuh keyakinan bahwa Daniel alias Beltsazar dapat melakukannya karena ia pernah mengetahui hal tersebut ketika menerangkan mimpi pada saat Raja Nebukadnezar masih berkuasa.

Daniel, sebagai seorang abdi Allah pun dibawa ke hadapan raja. Ketika raja menawarkan hadiah yang pantas ia dapatkan bila mampu menjelaskan arti tulisan itu, Daniel dengan rendah hati tidak menerimanya dan bahkan menyuruh untuk memberikannya kepada orang lain. Motivasi Daniel sungguh sangat murni untuk menyatakan kebenaran. Dia pun lalu menjelaskan tulisan itu, yaitu Mene,mene, tekel ufarsin, Mene: masa pemerintahan raja telah dihitung dan diakhiri oleh Allah, Tekel: raja ditimbang dengan neraca dan terlalu ringan, Peres: kerajaan akan dipecah dan diberi kepada orang Persia dan Media. Daniel pun akhirnya memperoleh kekuasaan sebagai orang ketiga, dipakaikan kain ungu dan lehernya dikalungkan rantai emas. Daniel mendapat tempat yang terhormat ketika menjelaskan kebenaran yang ia peroleh dari relasi dengan Allah.

Di sisi lain, Raja Belsyazar mengalami nasib yang tragis, ia terbunuh pada malam itu juga. Kondisi yang sangat mengerikan ketika seorang raja yang mendapat warisan tahta dari ayahnya tidak mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan yang pernah ada. Sebagai seorang pemimpin, Raja Belsyazar mengabaikan hal kerendahan hati dan kemauan belajar. Oleh karena itu, dia pun akhirnya menanggung konsekuensi akibat tidak belajar dari sejarah.

‘l’histoire se repete’… Sejarah berulang..

(diadaptasi dari Daniel 5:1-30)

Jakarta, 19 Juni 2014, 12.25

Niko Saripson P Simamora

Kisah Anak Juragan Bus

Posted: June 4, 2014 in cerpen
Tags: , , , ,

Sudah menjadi kebiasaan Jaka, setelah mengantar kekasihnya ke rumah dengan menggunakan taksi, ia akan berganti angkutan tepat di perempatan jalan yang cukup jauh dari rumah kekasihnya itu. Hal itu ia lakukan karena sebenarnya ia tidak menikmati perjalanan dengan menggunakan taksi karena pengatur udara yang membuat ia pusing. Namun, karena ia di dalam bersama kekasihnya, ia melupakan itu dan lebih menikmati berbincang dengan pujaan hatinya itu. Setelah sendiri, ia akan berhenti tepat di tempat bus kopantas biman yang menunggu penumpang, lalu naik ke dalamnya.

Di dalam bus, acapkali ia memperhatikan seorang anak kecil yang ngamen di dalam bus. Sebelum memulai aksinya, anak kecil itu akan membagi-bagikan amplop kepada penumpang yang satu persatu memenuhi bus itu. Setelah itu, ia akan mulai bernyanyi. Nyanyian yang ia dendangkan tidak terlalu terdengar dengan jelas. Ia hanya kelihatan bergumam, sambil sesekali tersenyum mencolek sebagian penumpang yang kemungkinan sudah sering ia lihat di bus itu. Sesudah bernyanyi, ia akan bergerak kembali mengambil amplop-amplop yang ia bagikan sebelumnya. Untuk beberapa penumpang ia seolah memaksa untuk memberikan uang, dan kebanyakan akhirnya memberikan juga. Sementara yang lain, tidak ia lakukan seperti itu.

Kegiatan itu menjadi sebuah hiburan bagi Jaka, sehabis melakukan kebiasaannya mengantar pacarnya. Ia sangat tertarik memperhatikan gerak-gerik anak kecil itu, sambil terkadang membayangkan masa kecilnya dan juga hal-hal lain yang berhubungan dengan dunia anak kecil. Usia anak itu sekitar lima atau enam tahun. Masih sangat belia dan sepantasnya tidak berada di tempat seperti itu sendiri dan mencari uang. Dalam jam-jam seperti itu, anak kecil itu seharusnya ada di rumah dan belajar. Tetapi kenyataannya tidak seperti yang Jaka bayangkan. Jaka selalu tidak habis pikir akan keadaan itu. Ia pun berusaha sedapat mungkin untuk tidak memberi karena ia menganggap hal itu hanya akan memanjakan dan selanjutnya menjadi sebuah kebiasaan bagi si anak. Jaka pun beranggapan dengan tidak memberi membuat si anak tidak betah dengan keadaan seperti itu sehingga akan mengambil keputusan untuk tidak lagi mengamen. Sebegitu jauh memang pikiran Jaka, si pemuda yang idealis, konservatif dan kaku.

Suatu hari, Jaka kembali dari mengantar kekasihnya dengan taksi dan berhenti tepat di tempat di mana bus kopantas biman menunggu penumpang. Namun, ia cukup terkejut ketika mengetahui bahwa tidak ada bus yang berhenti dan menunggu penumpang. Awalnya Jaka berpikir bahwa kemungkinan bus itu masih belum tiba, sehingga ia berdiri saja menunggu. Setelah setengah jam menunggu, ternyata bus yang ia tunggu-tunggu belum datang juga, sementara sudah cukup banyak penumpang yang menunggu. Satu jam berlalu dan bus pun belum datang.

Beberapa penumpang setia bus itu sudah tampak gusar dan mulai mengeluhkan keadaan itu. Sementara Jaka sebagai seorang pemuda yang sabar kelihatan masih santai saja. Ia masih mengharapkan bus itu akan segera datang. Namun, tunggu punya tunggu tidak datang juga hingga akhirnya seorang Polisi yang sedang beristirahat dari mengatur lalu lintas menghampiri penumpang.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian mungkin sedang menunggu bus kopantas biman yang sering berhenti di sini ya?” tanya Pak Polisi tersebut.

“Iya, iya…” jawab para penumpang.

Jaka pun tak ketinggalan mendekat untuk mendengar informasi dari Pak Polisi tersebut.

“Jadi begini, semua supir dan kondektur yang bekerja untuk perusahaan bus tersebut sedang tidak bekerja karena melayat anak bos mereka yang meninggal tadi pagi. Jadi, bapak ibu sekalian silakan mencari angkutan yang lain” kata Pak Polisi menjelaskan.

Terlihat wajah-wajah penumpang yang bingung dengan penjelasan Pak Polisi tersebut sambil berlalu bubar dari tempat itu. Sebagian lagi ada yang bergumam, mungkin kesal karena sudah menunggu lama. Sementara itu, Jaka terlihat mengerutkan dahi dan tidak berterima dengan penjelasan singkat Pak Polisi tersebut. Ia pun langsung menemui Pak Polisi tersebut.

“Pak, kenapa supir dan kondektur tidak bekerja hanya karena anak bosnya meninggal?” tanya Jaka penasaran.

“Begini mas, kalau mas sering perhatikan, anak kecil yang mengamen di bus, dialah anak bos yang punya perusahaan bus itu” jawab Pak Polisi.

“Hah?Trus Pak?” tanya Jaka lagi.

“Anak itu sebenarnya sudah berumur tiga puluh tahun, tetapi karena menderita sebuah penyakit yang belum diketahui namanya membuat beliau kelihatan seperti anak kecil. Karena mengidap penyakit itu, ia susah bergaul di sekolah dan lingkungannya. Sehingga ia memilih untuk hidup di jalan dan bergaul dengan supir dan kondektur. Karena supir dan kondektur merasa dekat dengan anak itu, mereka rela tidak bekerja hari ini” jawab Pak Polisi dengan jelas.

Jaka terhenyak mendengar cerita Pak Polisi itu. Sambil mengucapkan terima kasih, Jaka berlalu dari Pak Polisi itu. Ia pun berjalan mencari angkutan lain sambil bergumam dalam hati, “Ternyata hidup tidak melulu apa yang tampak di luar”.

 

Jakarta, 4 Juni 2014, 15.30

Niko Saripson Pandapotan Simamora

Mahkota

Posted: June 2, 2014 in otak atik otak, Uncategorized
Tags: , ,

Mahkota itu milikku

Tolong jangan sentuh

Mahkota itu milikku

Menjauhlah dari sisinya

 

Mahkota itu milikku

Tolong jangan dilihat

Mahkota itu milikku

Berpalinglah dari memandangnya

 

Mahkota itu milikku

Akulah yang pantas

Mahkota itu milikku

Yang lain tidak

 

Seruan itu adalah milik mereka

Para pegiat merebut hati

Melayangkan klaim sendiri

Tidak ada malu dirasa

 

Mahkota itu milik bersama

Mari kita perjuangkan saja

Mahkota itu milik bersama

Berbagi keringat dalam kerja

 

Mahkota itu milik bersama

Bukan simbol adu kuat

Mahkota itu milik bersama

Khalayak yang pantas berhajat

 

Mahkota oh mahkota

Kilaumu menjadi candu

Megahmu menjadi nafsu

Agungmu menjadi karsa

 

Sebaiknya mahkota dilebur saja

Simbol acapkali tanpa rasa

Hambar ketika sudah dikecap

Biarlah semua menjadi tegap

 

Kebanggaan akan mahkota taruh di hatimu saja

Sekali-sekali luapkan dengan mulutmu

Selebihnya nyatakan dengan kerja tanganmu

Niscaya mahkota akan abadi di semesta

 

Jakarta, 2 Juni 2014, 15.02

Niko Saripson P Simamora