Sudah menjadi kebiasaan Jaka, setelah mengantar kekasihnya ke rumah dengan menggunakan taksi, ia akan berganti angkutan tepat di perempatan jalan yang cukup jauh dari rumah kekasihnya itu. Hal itu ia lakukan karena sebenarnya ia tidak menikmati perjalanan dengan menggunakan taksi karena pengatur udara yang membuat ia pusing. Namun, karena ia di dalam bersama kekasihnya, ia melupakan itu dan lebih menikmati berbincang dengan pujaan hatinya itu. Setelah sendiri, ia akan berhenti tepat di tempat bus kopantas biman yang menunggu penumpang, lalu naik ke dalamnya.
Di dalam bus, acapkali ia memperhatikan seorang anak kecil yang ngamen di dalam bus. Sebelum memulai aksinya, anak kecil itu akan membagi-bagikan amplop kepada penumpang yang satu persatu memenuhi bus itu. Setelah itu, ia akan mulai bernyanyi. Nyanyian yang ia dendangkan tidak terlalu terdengar dengan jelas. Ia hanya kelihatan bergumam, sambil sesekali tersenyum mencolek sebagian penumpang yang kemungkinan sudah sering ia lihat di bus itu. Sesudah bernyanyi, ia akan bergerak kembali mengambil amplop-amplop yang ia bagikan sebelumnya. Untuk beberapa penumpang ia seolah memaksa untuk memberikan uang, dan kebanyakan akhirnya memberikan juga. Sementara yang lain, tidak ia lakukan seperti itu.
Kegiatan itu menjadi sebuah hiburan bagi Jaka, sehabis melakukan kebiasaannya mengantar pacarnya. Ia sangat tertarik memperhatikan gerak-gerik anak kecil itu, sambil terkadang membayangkan masa kecilnya dan juga hal-hal lain yang berhubungan dengan dunia anak kecil. Usia anak itu sekitar lima atau enam tahun. Masih sangat belia dan sepantasnya tidak berada di tempat seperti itu sendiri dan mencari uang. Dalam jam-jam seperti itu, anak kecil itu seharusnya ada di rumah dan belajar. Tetapi kenyataannya tidak seperti yang Jaka bayangkan. Jaka selalu tidak habis pikir akan keadaan itu. Ia pun berusaha sedapat mungkin untuk tidak memberi karena ia menganggap hal itu hanya akan memanjakan dan selanjutnya menjadi sebuah kebiasaan bagi si anak. Jaka pun beranggapan dengan tidak memberi membuat si anak tidak betah dengan keadaan seperti itu sehingga akan mengambil keputusan untuk tidak lagi mengamen. Sebegitu jauh memang pikiran Jaka, si pemuda yang idealis, konservatif dan kaku.
Suatu hari, Jaka kembali dari mengantar kekasihnya dengan taksi dan berhenti tepat di tempat di mana bus kopantas biman menunggu penumpang. Namun, ia cukup terkejut ketika mengetahui bahwa tidak ada bus yang berhenti dan menunggu penumpang. Awalnya Jaka berpikir bahwa kemungkinan bus itu masih belum tiba, sehingga ia berdiri saja menunggu. Setelah setengah jam menunggu, ternyata bus yang ia tunggu-tunggu belum datang juga, sementara sudah cukup banyak penumpang yang menunggu. Satu jam berlalu dan bus pun belum datang.
Beberapa penumpang setia bus itu sudah tampak gusar dan mulai mengeluhkan keadaan itu. Sementara Jaka sebagai seorang pemuda yang sabar kelihatan masih santai saja. Ia masih mengharapkan bus itu akan segera datang. Namun, tunggu punya tunggu tidak datang juga hingga akhirnya seorang Polisi yang sedang beristirahat dari mengatur lalu lintas menghampiri penumpang.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian mungkin sedang menunggu bus kopantas biman yang sering berhenti di sini ya?” tanya Pak Polisi tersebut.
“Iya, iya…” jawab para penumpang.
Jaka pun tak ketinggalan mendekat untuk mendengar informasi dari Pak Polisi tersebut.
“Jadi begini, semua supir dan kondektur yang bekerja untuk perusahaan bus tersebut sedang tidak bekerja karena melayat anak bos mereka yang meninggal tadi pagi. Jadi, bapak ibu sekalian silakan mencari angkutan yang lain” kata Pak Polisi menjelaskan.
Terlihat wajah-wajah penumpang yang bingung dengan penjelasan Pak Polisi tersebut sambil berlalu bubar dari tempat itu. Sebagian lagi ada yang bergumam, mungkin kesal karena sudah menunggu lama. Sementara itu, Jaka terlihat mengerutkan dahi dan tidak berterima dengan penjelasan singkat Pak Polisi tersebut. Ia pun langsung menemui Pak Polisi tersebut.
“Pak, kenapa supir dan kondektur tidak bekerja hanya karena anak bosnya meninggal?” tanya Jaka penasaran.
“Begini mas, kalau mas sering perhatikan, anak kecil yang mengamen di bus, dialah anak bos yang punya perusahaan bus itu” jawab Pak Polisi.
“Hah?Trus Pak?” tanya Jaka lagi.
“Anak itu sebenarnya sudah berumur tiga puluh tahun, tetapi karena menderita sebuah penyakit yang belum diketahui namanya membuat beliau kelihatan seperti anak kecil. Karena mengidap penyakit itu, ia susah bergaul di sekolah dan lingkungannya. Sehingga ia memilih untuk hidup di jalan dan bergaul dengan supir dan kondektur. Karena supir dan kondektur merasa dekat dengan anak itu, mereka rela tidak bekerja hari ini” jawab Pak Polisi dengan jelas.
Jaka terhenyak mendengar cerita Pak Polisi itu. Sambil mengucapkan terima kasih, Jaka berlalu dari Pak Polisi itu. Ia pun berjalan mencari angkutan lain sambil bergumam dalam hati, “Ternyata hidup tidak melulu apa yang tampak di luar”.
Jakarta, 4 Juni 2014, 15.30
Niko Saripson Pandapotan Simamora