Mahaerupsi gunung api Toba 74.000 tahun yang lalu merupakan yang terbesar di dunia dalam kurun waktu dua juta tahun terakhir. Sebegitu dahsyatnya letusan ini, sehingga mempengaruhi peradaban manusia saat itu bahkan hingga kini. Sebaran awan panas mencapai radius 200.000 km2 dengan suhu mencapai 550 oC bila dibayangkan menjadi musibah dahsyat yang tak pernah terpikirkan oleh umat manusia saat itu. Tak ada yang bisa melawan aktivitas alam ini, atau mencegahnya layaknya seorang juru kunci yang dianggap punya daya kendali. Sekalian lingkungan bisa dipastikan luluh lantak dan hanya menjadi saksi bisu kegarangan gunung api raksasa ini. Bisa jadi peristiwa ini menjadi awal mula perubahan iklim dan temperatur global jagad ini.
Lalu, mari kita melangkah ke 74.000 tahun setelahnya. Betapa kita tidak terkejut dengan indahnya alam yang leluasa kita pandangi saat ini. Ya, sisa kedahsyatan letusan supervolcano Toba itu menjelma menjadi warisan manis di generasi ini. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Tao Toba Na Uli, Danau Toba yang permai. Indah, permai, elok, rancak, uli, ture hingga tak terungkapkan kata-kata pujian yang disematkan kepada kaldera terbesar di dunia ini. Sebuah lirik lagu Batak menggambarkannya demikian :
O Tao Toba
Angka dolok na timbo
do manghaliangi ho
o TaoToba na uli
tapianmu na tio i tongtong
di bahen ho dalan lao tu pulomi
hauma na tung bolak
adaran na pe lomak
di pangisi ni luat mi
pinahan na pe rarak
pandaraman pe bahat
nahumaliang topi mi
Reff:
O Tao Toba
raja ni sude na tao
tao na sumurung na lumobi ulimi
molo huida rupami sian na dao
tudos tu intan do denggan jala uli
barita ni hinaulim di tano on
umpama ni hinajogim di portibi on
mambahen masihol saluhut ni nasa bangso
mamereng ho o Tao Toba na uli.
O Danau Toba
Segala bukit yang tinggi
yang mengelilingimu
o Danau Toba yang permai
airmu yang jernih, tetap
dibuat menjadi jalan menuju pulaumu
daratannya pun subur
sawah yang begitu luas
daratannya pun subur
pencaharian pun banyak
di sekeliling tepi mu
Reff:
O Danau Toba
raja segenap danau
danau yang lebih baik lagi permai
kalau kupandang rupamu dari kejauhan
seperti intan bagus dan permai
berita keindahanmu di tanah ini
pantun keindahanmu di bumi ini
membuat rindu segenap bangsa
melihatmu o Danau Toba yang permai
Betapa damai jiwa bila mendengar lagu di atas seraya duduk di tepinya atau sekedar lintas pandang dari kejauhan. Suguhan kopi hitam dan lampet (sejenis penganan dari tepung beras) menjadi penambah nikmat suasana danau ditambah udara dingin nan sejuk. Indah betapa indah. Bahkan setiap tahun, segenap rakyat diajak bersuka dengan Pesta Danau Toba. Oh, sungguh warisan manis.
Namun, berita keindahan Danau Toba kini semakin terdengar miring. Danau yang merupakan reservoir air tawar segar terbesar di Asia Tenggara ini seolah meradang. Eksploitasi keindahan disertai kekayaan alam sekitar meningkat signifikan tanpa disertai pemeliharaan yang mumpuni. Warisan manis itu kini mulai terasa hambar. Tanya mengapa? Sudah saatnya merenung, keindahan alam juga butuh perawatan layaknya gadis cilik yang akan tumbuh menjadi wanita cantik. Merawat Danau Toba tidak hanya sebatas datang, melakukan kegiatan sosial dan setelah itu pulang dengan senang. Pemeliharaan melalui pola pikir harus menjadi yang utama. Pendidikan ke masyarakat di sekitar danau harus menjadi agenda banyak pihak yang akan melakukan kegiatan-kegiatan kepedulian terhadap Danau Toba.
Sejenak layangkan pandang kembali ke 74.000 tahun yang lalu. Begitu ngeri dan suram amarah gunung api raksasa Toba, namun manis warisannya. Tugas kita kini hanya merawat dengan bertanggung jawab sehingga Danau Toba akan tetap manis dan menghayalkan Sang Khalik tersenyum dan mengizinkan manisnya warisan ini untuk selama-lamanya serta cincin api yang melintasinya menjadi penambah manisnya cerita.